Judul karya resensi : Catatan perjalanan seorang penulis
fesiminisJudul : Perjalananku mengelilingi dunia
Penulis :Nawal el-Saadawi
Tebal : 306 hlm
ISBN : 979-461-6141
Hari Minggu lalu, saat
berlangsung pembukaan Konferensi
Internasional ke-7 Women Playwrights International, di Jakarta,
penulis terkenal Mesir, Nawal el Saadawi, diundang menjadi pembicara
kunci.
Nawal el Saadawi kembali berbicara Senin sore lalu dalam rangkaian
konferensi, kali ini dalam peluncuran buku yang dialihbahasakan oleh
Yayasan Obor Indonesia. Judul buku dalam bahasa aslinya adalah My
Travels Around The World, dan dialihbahasakan menjadi Perjalananku
Mengelilingi Dunia, Catatan Perjalanan Seorang Penulis Feminis.
Ada 11 kisah perjalanan di dalam buku ini, diawali dari perjalanan
pertama Nawal ke luar tanah airnya Mesir dan ditutup dengan
perjalanannya ke negara-negara di Afrika sebagai pejabat
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kisah-kisah ini membentang dari tahun 1960-an hingga 1970-an. Kesan
yang paling terasa saat membaca buku ini adalah betapa persoalan
yang dihadapi negeri-negeri yang dikunjungi Nawal tidak banyak
berubah. Misalnya, cerita perjalanannya ke Amerika, saat dia
mengikuti pertemuan mahasiswa Arab di sana.
Para mahasiswa, dari Arab dan Amerika menyusun resolusi yang
mendukung Organisasi Pembebasan Palestina dan kembalinya rakyat
Palestina ke tanah air mereka. Perjuangan rakyat Palestina
mendapatkan kembali seluruh tanah air mereka belum juga selesai
sampai hari ini.
Begitu juga pengalaman di India, yang merupakan bab terpanjang dalam
buku ini. Meskipun kini India merupakan salah satu kekuatan ekonomi
yang disegani saat mereka membuka diri terhadap pasar, namun
kemiskinan yang diceritakan Nawal masih bertahan sampai sekarang.
Pun jurang kaya dan miskin serta diskriminasi terhadap perempuan
masih terjadi di India.
Penggambarannya rinci dan menyentuh. "Sebuah pemandangan tak
terlupakan adalah anak-anak yang tidak menghalangi Anda dan tidak
mengatakan apa pun, tetapi yang memandang Anda dengan mata diam yang
hanya berisi satu makna yang tetap dan jelas, diteriakkan tanpa
bunyi: Kami lapar!" (hal 159)
Pencatat yang baik
India memang istimewa untuk Nawal. "Perjalanan ke India berbeda
dengan perjalanan lain ke negeri lain mana pun. Perjalanan itu
merupakan perjalanan seumur hidup, dari lahir hingga kematian,
seperti sebuah lingkaran yang mulai dan berakhir pada titik yang
sama; tetapi bukan titik yang sama sebab kelahiran bukanlah kematian
dan awal bukanlah akhir" (hal 153).
Bagi Nawal, turisme bukanlah terbang dengan pesawat mengunjungi
museum, tidur, dan makan di hotel mewah. Nawal lebih tertarik
menyusuri jalanan dan permukiman berdebu, menemui orang di mana pun,
terutama di tempat yang dijauhi turis.
Semua kesan dan perasaannya ditulis cukup rinci, bahkan percakapan
dengan orang-orang yang dia temui. Dia menyebutkan, "Saya mempunyai
kebiasaan mencatat kesan-kesan pertama saya tentang setiap negara
baru ke mana saya berkunjung, sebelum negara itu menjadi akrab di
mata saya dan sebelum keakraban memperlemah saya terhadap segala
sesuatu dan hal baru menjadi begitu akrab sehingga mata hampir-
hampir tidak melihatnya" (hal 155). Dan bila Nawal menyebut melihat,
itu berarti juga melibatkan perasaannya.
Kekuatan lain Nawal adalah tidak ragu-ragu menuangkan perasaannya
secara intim dan hangat melalui tulisan yang dia ramu dengan
sikapnya yang antikolonialisme, anti-imperialisme, antifeodalisme,
yang pada intinya antiketidakadilan. Bukan hanya ketidakadilan pada
tataran global, tetapi juga di tingkat negara dan individu. Inilah
kekuatan perempuan sebab yang personal adalah politis. Tidak ada
pembedaan pada keduanya.
Dengan gamblang, dia menyatakan ketidaksetujuannya pada Anwar Sadat
yang disebutnya menjual Mesir kepada orang asing (Barat) sehingga
menyebabkan orang Mesir tergusur dari tanah pertanian mereka, bahkan
terpaksa menjadi pekerja migran. Perasaan yang sama kini juga
dirasakan orang-orang di sini. Tetapi, dia juga mempertanyakan
warisan budaya yang diterima melalui cerita-cerita neneknya.
"Untuk menjadi kreatif, kita harus terus mempertanyakan segala hal,
orangtua kita, warisan budaya kita, pendidikan yang diberikan,"
cetus Nawal berkali-kali dalam diskusi bedah buku di Galeri
Nasional.
Nawal secara jelas menuturkan kecintaannya kepada tanah airnya,
ayahnya, ibunya, nenek-neneknya, terutama nenek dari pihak ayahnya
yang dia sebut sebagai perempuan sederhana tetapi berani, kepada dua
anaknya, dan juga suaminya. Dia berulang kali membacai surat dari
suaminya yang bercerita tentang putrinya dan menyimpan surat itu di
bawah bantal ketika di berada di Amerika, sementara suami dan
putrinya tinggal di Mesir (hal 59-60).
Hal-hal seperti inilah yang membuat buku ini memikat, selain juga
karena menggambarkan dengan menarik negeri yang dia kunjungi dan
masyarakatnya serta pengalaman dan perasaannya. Meskipun Nawal
menyebut bukunya ini buku perjalanan, namun buku ini menjadi seperti
sebuah autobiografi.
Feminis
Dan tentu saja berbicara mengenai Nawal tidak lengkap bila tidak
menyinggung sikapnya sebagai feminis. Bab pertama bisa membantu
menjelaskan mengapa Nawal begitu menentang patriarkhi. Untuk dapat
pergi ke luar negeri, seorang perempuan harus mendapat izin tertulis
dari suaminya dan harus disertakan pada paspor.
"Dan saya beritahu Anda bahwa menurut hukum, saya boleh bepergian
tanpa izin suami sebab saya perempuan lajang, tanpa suami," kata
Nawal kepada polisi di jalan masuk bandara Mesir. Tetapi, polisi itu
ngotot menanyakan surat bukti bahwa Nawal lajang. Nawal lalu
menunjukkan surat cerainya dan polisi itu berkata, "Mengapa Anda
tidak memberitahu saya dari awal bahwa Anda telah dicerai?"
"Aku belum pernah dicerai," jawab saya dengan marah. "Saya
bercerai." (hal 8-9).
Pandangan Nawal sebagai feminis dapat kita ikuti melalui buku-
bukunya yang telah diterjemahkan Yayasan Obor. Bukunya yang paling
laris adalah Perempuan di Titik Nol (Women at Point Zero), bercerita
tentang pelacur Firdaus yang dihukum mati dengan tuduhan membunuh
walaupun yang dikatakannya adalah kenyataan bahwa dia menjadi
pelacur karena semua laki-laki yang dia kenal, termasuk paman, ayah,
dan suaminya, mengajarkan dia untuk menjadi dewasa sebagai pelacur.
Dan di Thailand, dia menemui kenyataan bahwa perempuan sejak muda
telah dijual sebagai pelacur demi turisme dan ujungnya pemasukan
bagi kas negara. Nawal memerlukan menyamar dalam pakaian laki-laki
agar dapat masuk ke tempat pelacuran yang disamarkan sebagai tempat
hiburan biasa dan tidak menerima tamu perempuan.
Tidak heran bila keberaniannya menyuarakan kebenaran yang dia yakini
membuat dia pernah dipenjara Anwar Sadat, pelarangan beberapa
bukunya, dan bahkan melahirkan ancaman mati dari kelompok
fundamentalis agama-agama
Internasional ke-7 Women Playwrights International, di Jakarta,
penulis terkenal Mesir, Nawal el Saadawi, diundang menjadi pembicara
kunci.
Nawal el Saadawi kembali berbicara Senin sore lalu dalam rangkaian
konferensi, kali ini dalam peluncuran buku yang dialihbahasakan oleh
Yayasan Obor Indonesia. Judul buku dalam bahasa aslinya adalah My
Travels Around The World, dan dialihbahasakan menjadi Perjalananku
Mengelilingi Dunia, Catatan Perjalanan Seorang Penulis Feminis.
Ada 11 kisah perjalanan di dalam buku ini, diawali dari perjalanan
pertama Nawal ke luar tanah airnya Mesir dan ditutup dengan
perjalanannya ke negara-negara di Afrika sebagai pejabat
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kisah-kisah ini membentang dari tahun 1960-an hingga 1970-an. Kesan
yang paling terasa saat membaca buku ini adalah betapa persoalan
yang dihadapi negeri-negeri yang dikunjungi Nawal tidak banyak
berubah. Misalnya, cerita perjalanannya ke Amerika, saat dia
mengikuti pertemuan mahasiswa Arab di sana.
Para mahasiswa, dari Arab dan Amerika menyusun resolusi yang
mendukung Organisasi Pembebasan Palestina dan kembalinya rakyat
Palestina ke tanah air mereka. Perjuangan rakyat Palestina
mendapatkan kembali seluruh tanah air mereka belum juga selesai
sampai hari ini.
Begitu juga pengalaman di India, yang merupakan bab terpanjang dalam
buku ini. Meskipun kini India merupakan salah satu kekuatan ekonomi
yang disegani saat mereka membuka diri terhadap pasar, namun
kemiskinan yang diceritakan Nawal masih bertahan sampai sekarang.
Pun jurang kaya dan miskin serta diskriminasi terhadap perempuan
masih terjadi di India.
Penggambarannya rinci dan menyentuh. "Sebuah pemandangan tak
terlupakan adalah anak-anak yang tidak menghalangi Anda dan tidak
mengatakan apa pun, tetapi yang memandang Anda dengan mata diam yang
hanya berisi satu makna yang tetap dan jelas, diteriakkan tanpa
bunyi: Kami lapar!" (hal 159)
Pencatat yang baik
India memang istimewa untuk Nawal. "Perjalanan ke India berbeda
dengan perjalanan lain ke negeri lain mana pun. Perjalanan itu
merupakan perjalanan seumur hidup, dari lahir hingga kematian,
seperti sebuah lingkaran yang mulai dan berakhir pada titik yang
sama; tetapi bukan titik yang sama sebab kelahiran bukanlah kematian
dan awal bukanlah akhir" (hal 153).
Bagi Nawal, turisme bukanlah terbang dengan pesawat mengunjungi
museum, tidur, dan makan di hotel mewah. Nawal lebih tertarik
menyusuri jalanan dan permukiman berdebu, menemui orang di mana pun,
terutama di tempat yang dijauhi turis.
Semua kesan dan perasaannya ditulis cukup rinci, bahkan percakapan
dengan orang-orang yang dia temui. Dia menyebutkan, "Saya mempunyai
kebiasaan mencatat kesan-kesan pertama saya tentang setiap negara
baru ke mana saya berkunjung, sebelum negara itu menjadi akrab di
mata saya dan sebelum keakraban memperlemah saya terhadap segala
sesuatu dan hal baru menjadi begitu akrab sehingga mata hampir-
hampir tidak melihatnya" (hal 155). Dan bila Nawal menyebut melihat,
itu berarti juga melibatkan perasaannya.
Kekuatan lain Nawal adalah tidak ragu-ragu menuangkan perasaannya
secara intim dan hangat melalui tulisan yang dia ramu dengan
sikapnya yang antikolonialisme, anti-imperialisme, antifeodalisme,
yang pada intinya antiketidakadilan. Bukan hanya ketidakadilan pada
tataran global, tetapi juga di tingkat negara dan individu. Inilah
kekuatan perempuan sebab yang personal adalah politis. Tidak ada
pembedaan pada keduanya.
Dengan gamblang, dia menyatakan ketidaksetujuannya pada Anwar Sadat
yang disebutnya menjual Mesir kepada orang asing (Barat) sehingga
menyebabkan orang Mesir tergusur dari tanah pertanian mereka, bahkan
terpaksa menjadi pekerja migran. Perasaan yang sama kini juga
dirasakan orang-orang di sini. Tetapi, dia juga mempertanyakan
warisan budaya yang diterima melalui cerita-cerita neneknya.
"Untuk menjadi kreatif, kita harus terus mempertanyakan segala hal,
orangtua kita, warisan budaya kita, pendidikan yang diberikan,"
cetus Nawal berkali-kali dalam diskusi bedah buku di Galeri
Nasional.
Nawal secara jelas menuturkan kecintaannya kepada tanah airnya,
ayahnya, ibunya, nenek-neneknya, terutama nenek dari pihak ayahnya
yang dia sebut sebagai perempuan sederhana tetapi berani, kepada dua
anaknya, dan juga suaminya. Dia berulang kali membacai surat dari
suaminya yang bercerita tentang putrinya dan menyimpan surat itu di
bawah bantal ketika di berada di Amerika, sementara suami dan
putrinya tinggal di Mesir (hal 59-60).
Hal-hal seperti inilah yang membuat buku ini memikat, selain juga
karena menggambarkan dengan menarik negeri yang dia kunjungi dan
masyarakatnya serta pengalaman dan perasaannya. Meskipun Nawal
menyebut bukunya ini buku perjalanan, namun buku ini menjadi seperti
sebuah autobiografi.
Feminis
Dan tentu saja berbicara mengenai Nawal tidak lengkap bila tidak
menyinggung sikapnya sebagai feminis. Bab pertama bisa membantu
menjelaskan mengapa Nawal begitu menentang patriarkhi. Untuk dapat
pergi ke luar negeri, seorang perempuan harus mendapat izin tertulis
dari suaminya dan harus disertakan pada paspor.
"Dan saya beritahu Anda bahwa menurut hukum, saya boleh bepergian
tanpa izin suami sebab saya perempuan lajang, tanpa suami," kata
Nawal kepada polisi di jalan masuk bandara Mesir. Tetapi, polisi itu
ngotot menanyakan surat bukti bahwa Nawal lajang. Nawal lalu
menunjukkan surat cerainya dan polisi itu berkata, "Mengapa Anda
tidak memberitahu saya dari awal bahwa Anda telah dicerai?"
"Aku belum pernah dicerai," jawab saya dengan marah. "Saya
bercerai." (hal 8-9).
Pandangan Nawal sebagai feminis dapat kita ikuti melalui buku-
bukunya yang telah diterjemahkan Yayasan Obor. Bukunya yang paling
laris adalah Perempuan di Titik Nol (Women at Point Zero), bercerita
tentang pelacur Firdaus yang dihukum mati dengan tuduhan membunuh
walaupun yang dikatakannya adalah kenyataan bahwa dia menjadi
pelacur karena semua laki-laki yang dia kenal, termasuk paman, ayah,
dan suaminya, mengajarkan dia untuk menjadi dewasa sebagai pelacur.
Dan di Thailand, dia menemui kenyataan bahwa perempuan sejak muda
telah dijual sebagai pelacur demi turisme dan ujungnya pemasukan
bagi kas negara. Nawal memerlukan menyamar dalam pakaian laki-laki
agar dapat masuk ke tempat pelacuran yang disamarkan sebagai tempat
hiburan biasa dan tidak menerima tamu perempuan.
Tidak heran bila keberaniannya menyuarakan kebenaran yang dia yakini
membuat dia pernah dipenjara Anwar Sadat, pelarangan beberapa
bukunya, dan bahkan melahirkan ancaman mati dari kelompok
fundamentalis agama-agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar