Judul karya resensi : Seorang
pelacur yang mempertahankan harga dirinya
Judul : Perempuan di titik nol
Penulis :Nawal el-Saadawi
Tebal : 156 hlm
ISBN :978-979461-040-4
Novel perempuan di
titik nol adalah novel terjemahan karya Nawal el Saadawi dari judul asli Woman
at point zero. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh yayasan
obor Indonesia pada tahun 1989. Novel ini di dasari dari kisah nyata dan
pengalaman sang penulis sendiri dan menceritakan tentang kehidupan dari Firdaus
tokoh utama dari novel ini.
]Firdaus adalah anak dari seorang petani, hidupnya sangatlah rumit dan penuh
konflik. Sejak kecil Firdaus sudah menjalani penganiayaan dari segi fisik
maupun mental oleh seorang lelaki yang dikenalnya sebagai ayah. Sesungguhnya
tak cuma Firdaus yang mendapat perlakuan dari sosok ayahnya itu, tapi ibunya
pun tidak pernah mempunyai nasib yang lebih baik dari Firdaus.
Ketika ayah dan ibu Firdaus meninggal, Firdaus di asuh oleh pamannya. Meski
pamannya itu bersikap lebih baik dan lemah lembut daripada ayahnya, tapi sosok
paman yang lemah lembut itu sama seperti lelaki lain. Pamannya pun tidak
melewatkan kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual kepadanya. Seringkali
pamannya meraba-raba paha Firdaus sambil membacakan buku kepadanya sebelum atau
sesudah Firdaus tinggal bersamanya.
Dalam masa ini, Firdaus disekolahkan di sekolah menengah pertama. Disitulah ia
dapat merasakan bergaul dengan sebayanya, namun ketika itu juga ia hampir
mengenal cinta tetapi tidak dari lawan jenis, melainkan dari seorang guru
perempuan. Lulus dari sekolah menengah dengan nilai terbaik, lalu pamannya
menikah dengan seorang gadis anak dari guru sewaktu ia sekolah di Al-Azhar.
Waktupun terus belalu, lama-kelamaan sang bibi tersebut kurang suka dengan
keberadaan Firdaus di rumahnya. Jadi ia berencana untuk mengenalkan Firdaus
pada seorang laki-laki yang bernama Syekh Mahmud, orang tua yang berumur 60
tahun yang kaya raya dan sangat pelit disertai dengan adanya bisul disekitar
wajahnya.
Untuk membalas budi sang paman, Firdaus pun menerima pinangan dari Syekh
Mahmoud tersebut dan umurnya waktu itu adalah 18 tahun. Apa boleh buat Firdaus
pun harus melayani lelaki dengan wajahnya yang penuh bisul itu walau dengan
setengah hati. Namun lama-kelamaan Firdaus pun tak tahan dan kemudian melarikan
diri. Hal itu disebabkan Firdaus seringkali mendapatkan perlakuan yang
menyakiti fisiknya.Ia pun terus berlari, dan saking kencangnya ia berlari
akhirnya tibalah pada suatu keindahan pemandangan sungai Nil. Disitulah awal
mulanya Firdaus beremu dengan lelaki yang bernama Bayoumi. Awalnya ia mengira
lelaki yang bernama Bayoumi adalah seorang laki-laki yang baik, namun ternyata
tidak demikian. Bayoumi lalu mengajak Firdaus untuk tinggal satu rumah. Bayoumi
pun tidak ketinggalan untuk merasakan nikmatnya tubuh Firdaus bersama
teman-temannya. Bayoumi lah yang membawa Firdaus pada suatu profesi yang
disebut pelacur. Kali ini ia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang
bernama Syarifa yang ternyata tak lebih dari seorang germo. Namun, berkat
perempuan itu Firdaus lebih mengenal lagi tentang dunia pelacuran dan
mengetahui bahwa ia memiliki tubuh dengan harga diri yang tinggi, disitu
Firdaus merasakan kenikmatan dunia. Karena adanya konflik antara Firdaus dan
Fawzi (pacar Syarifa) yang ingin memperistri Syarifa. Maka atas sikap Syarifa
Firdaus yang penuh rasa hormat kepada siapapun yang di temuinya, Firdaus pun
kembali melarikan diri. Di jalan ia di ajak oleh seseorang untuk masuk kedalam
mobil dan dibawa ke hotel. Setelah melakukan persetubuhan Firdaus di beri uang
sebesar 10 pon.
Jalan hidup membawa Firdaus menjadi seorang pelacur mandiri dan berharga. Ia
bisa membeli apapun yang ia inginkan, ia bisa berdandan cantik, dan yang paling
penting ia bisa memilih dengan siapa ia akan tidur. Akan tetapi nasib baik
belum juga bersahabat dengannya. Ketika itu Firdaus sedang merasakan frustasi
karena ia tidak merasa nyaman dan tenang saat ia menekuni sebagai seorang
pelacur. Lalu ia sempat beralih profesi menjadi pegawai kantoran. Disana dia
bertemu dan bisa merasakan rasanya jatuh cinta pada teman kerjanya, tetapi
tetap saja lelaki itu hanya menyukai dan menginginkan kenikmatan tubuh
perempuan. Bahkan perempuan adalah pelacur dalam hidup seorang lelaki, karena
setelah menjadi istri pun wanita masih menjadi pelacur. Hal yang membedakannya
adalah ketika sudah berumah tangga wanita merasa pasrah, tidak dibayar, dan
memakai cinta dalam persetubuhannya. Sedangkan pelacur jalanan dibayar dan
tidak memakai cinta dalam hubungannya.
Akhirnya Firdaus pun menekuni profesinya kembali sebagai seorang pelacur,
sehingga seorang germo memaksa Firdaus bekerja untuknya. Ternyata dari
pengalamannya selama ini, Firdaus pun sadar dan menjadi perempuan yang tak mau
lagi di injak-injak harga dirinya oleh kaum pria. Namun karena sang germo
memaksa dan mengancamnya, Firdaus pun memegang sebilah pisau dan menghujamkan
beberapa tusukan, sehingga akhirnya ia membunuh sang germo. Setelah peristiwa
itu, ia segera menyerahkan diri kepada polisi dan akhirnya masuk penjara.
Akibat ulahnya itu, Firdaus pun di vonis hukuman mati. Namun anehnya dia malah
menolak menerima grasi yang telah diusulkan oleh seorang dokter penjaranya
kepada presiden. Firdaus menggunakan kepasifan sebagai senjata perlawanan untuk
mempertahankan harga dirinya, termasuk kepasifan menerima hukuman mati. Menurut
Firdaus , vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan
sejati. Ironis.
Inti cerita dari novel perempuan di titik nol ini yaitu menceritakan seorang
pelacur yang mempertahankan harga dirinya dengan sikap yang pasif pada setiap
orang terutama lelaki. Pasif disini diartikan adalah tidak mau berusaha untuk
mencari alternatif yang lain demi kemajuan dan kelangsungan masa depannya,
tetapi hanya tetap mengandalkan apa yang terjadi sekarang dan menerimanya. Hal
ini terlihat dari sikap Firdaus yang tetap mau menerima hukuman mati sebagai
jalan dari kebebasannya yang sejati.
Dari segi isi cerita, kelebihan dari novel ini yaitu membangkitkan semangat
bagi para perempuan untuk tidak terjerumus pada kesenanganan dunia sesaat yang
negatif. Jika seorang perempuan mendapatkan pelecehan seperti itu, kita
(khususnya kaum perempuan) harus berani untuk membela diri karena sekarang
sudah zaman emansipasi wanita yaitu kedudukan wanita tidak seperti zaman dulu
yang hanya dijadikan sebagai alat pemuas lelaki, bebas berpendapat tetapi tidak
melenceng dari aturan-aturan yang berlaku, dan lain-lain. Novel ini juga banyak
memberikan pengetahuan untuk para kaum Adam (lelaki) untuk bisa lebih
menghargai dan menghormati kaum hawa khususnya perempuan, sekalipun perempuan
itu seorang pelacur atau perempuan terhormat, dan lain-lain.
Membaca karya-karya sastra dari negeri yang sedang berkembang pasti akan
menemukan banyak persamaan, meskipun tentu juga akan di temukan berbagai reaksi
dan jawaban berbeda, akibat dari latar belakang sejarah, kondisi dan situasi
masyarakat, nilai-nilai masyarakat maupun perseorangan, agama, dan sebagainya
saling berbeda. Akan tetapi, apabila kita membuka pikiran hati kita membaca
karya sastra, maka kita akan mendapat pengalaman yang kaya sekali, pengalaman
manusia yang hanya kita timba dari sastra, dan yang tidak mungkin kita dapat
dari buku-buku sejarah maupun penelitian masyarakat. Mungkin saja pengalaman
itu dapat membawa kita pada pengertian yang lebih jelas dan jernih tentang apa
yang terjadi dengan kita dalam suatu kelompok masyarakat, seperti halnya yang
di ceritakan di dalam novel ini. Kehadiran buku Nawal el Saadawi ini
menunjukkan bahwa perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan
hak-hak yang sama dalam suatu komunitas, dan lebih penting lagi untuk mendapat
perubahan nilai dan sikap kaum lelaki Mesir terhadap perempuan, masih belum sepenuhnya
tercapai. Serta bisa membuka mata beberapa negara lain di dunia ini, khususnya
bagi masyarakat untuk bisa lebih menghargai dan menghormati kedudukan dan
hak-hak seorang wanita, baik di tengah masyarakat, maupun dalam hubungan
langsung antara lelaki dan permpuan secara sosial dan juga pribadi, baik di
dalam maupun di luar perkawinan.
Dengan adanya novel ini di harapkan untuk para pria bisa lebih menyadari akan
kelakuan-kelakuan buruk yang pernah di alaminya terutama semua hal yang
berkaitan dengan gender lawan jenis. Perlu kita renungi bahwa andaikata kita
mempunyai anak yang dilakukan tanpa hal wajar (belum muhrim atau nikah), lalu
tanpa sengaja anak kita pun bertanya kepada tentang pengalaman kita mempunyai
anak sewaktu muda pasti kita pun akan merasa malu untuk menceritakan pengalaman
buruk tersebut.
Dari segi aspek halaman, novel ini juga mungkin termasuk novel produk luar
negeri yang halamannya sedikit atau tidak terlalu tebal, karena seperti yang
telah kita ketahui bahwa hampir novel karya luar negeri itu kadang kala selalu
tebal halamannya, seperti novel Harry Potter, The da Vinci code, dan lain-lain.
Tetapi untuk novel ini tidak demikian, Sehingga bisa menghilangkan kejenuhan
para pembaca ketika membaca novel tersebut karena bisa di baca sekali langsung
selesai. Serta buku novel ini juga di kemas unik dalam bentuk menyerupai buku
saku sehingga memudahkan kita untuk membawanya kemana-mana.
Di dalam cerita novel ini kebanyakan ceritanya bersifat fulgar dan seringkali
berbau seks, sehingga akhirnya banyak mendapatkan pertentangan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu untuk segi sasaran yang dituju hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang sudah dewasa. Tentunya kita bisa mengetahui dan memikirkan apa
yang terjadi apabila seseorang yang belum dewasa atau belum cukup umur seperti
anak yang baru bisa membaca atau sebagainya membaca novel ini, tentu akan
terbawa suasana seperti yang terjadi dalam cerita novel tersebut, sehingga
perlu adanya bimbingan dari orang tua mereka ketika membaca dan mengkajinya.
Hal lain yang merupakan kekurangan di dalam novel perempuan di titik nol yaitu
menceritakan tentang kebobrokan lelaki, seakan-akan lelaki adalah makhluk jahat
yang hanya mau merampas harga diri wanita saja padahal dalam faktanya tidak
semuanya para lelaki bersikap demikian. Menurut beberapa media di Kairo
(Mesir), akibat hal itu beberapa petinggi Al-Azhar (Universitas di Mesir)
memberi kecaman kepada sang penulis khususnya Nawal el Saadawi, karena menurut
mereka kata-kata yang di tulis Nawal dalam novelnya banyak yang tak lazim,
seperti tentang seks dan berbau porno lainnya. Sehingga Universitas Al-Azhar
yang merupakan suatu Universitas terkenal di Mesir sangat kontradiktif sekali
terhadap novelnya ini, karena mereka sangat khawatir dengan penerbitan novel ini
akan merusak moral akhlak masyarakat Mesir dan negara lainnya walaupun isi
cerita yang ditulis oleh sang penulis novel adalah untuk memberikan gambaran
tentang kebobrokan manusia.
Untuk sebuah novel yang merupakan produk luar negeri, akan lebih bagus lagi
apabila cover bukunya di beri ilustrasi dan warna yang bisa menarik minat para
pembaca untuk membaca novel karya Nawal el Saadawi ini. Karena kita tahu
apabila suatu cover buku itu di buat semenarik atau sebagus mungkin akan
membuat pembaca tergiur untuk membaca dan membeli novel tersebut., sedangkan
dalam novel ini cover bukunya hampir sebagian besar hanya berwarna merah
sehinggga tidak menimbulkan kesan menarik dalam tampilan buku novel tersebut.Namun
karena bentuk buku yang menyerupai seperti buku saku, mengakibatkan penyusunan
bentuk hurufnya cenderung berukuran kecil karena menyesuaikan dengan keadaan
bentuk buku, sehingga menyulitkan kita ketika membaca novel tersebut.