BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Bangsa
Indonesia telah mengalami banyak perubahan yang sangat radikal di segala lini
kehidupan. Baik dalam dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain
sebagainya. Keberlangsungan nilai-nilai ideologi bangsa, sosial, politik,
ekonomi, dan budaya mulai terputus dengan sejarah masa lalu. Meminjam istilah
dari Endang Sumantri, bahwa bangsa Indonesia mengalami masa-masa discontinue, unlinier, dan unpredictable
Dengan
kondisi yang seperti ini masyarakat akan memicu tindakan-tindakan anarkis yang
menampakan antisosial dan antikemapanan, seperti demonstrasi yang merusak. Para
pejabat bahkan petinggi-petinggi negara semakin menumpuk kekayaan pribadinya
dengan cara korupsi atau menyelewengkan amanahnya. Tawuran antar pelajar dan
mahasiswa semakin marak terjadi, penggunaan obat-obatan terlarang dan
pornografi sudah menjadi konsumsi sehari-hari di kalangan remaja tertentu yang
tentunya mengancam masa depan remaja sebagai generasi masa depan bangsa. Permainan
politik dan hukum yang membuat orang-orang yang tidak bersalah harus merasakan
hukuman yang tidak seharusnya mereka terima juga semakin marak terjadi.
Disinilah
peran sosiologi sebagai ilmu pengetahuan untuk mengurai satu-persatu masalah
Indonesia dalam berbagai lini kehidupan. Yang akan menghubungkan antara:
Sosiologi-Politik, Sosiologi-Budaya, Sosiologi-Ekonomi, dan Sosiologi-Hukum,
lewat paradigma-paradigma dan pembahasan para ahli mengenai arti sosiologi.
B.
TUJUAN
Untuk
memberikan gambaran dari pandangan-pandangan yang berbeda oleh para
ahli/sosiolog dalam mengatasi permasalahan yang semakin banyak terjadi di
berbagai lini kehidupan di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
SOSIOLOGI
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan lahir
belakangan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan alam. Sosiologi merupakan
bagian dari human sciences atau
ilmu-ilmu manusia. Kekhususan sosiologi ini adalah mempelajari dan membahas
tentang perilaku masyarakat manusia yang berkaitan dengan struktur
kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliknya.
Sosiologi
(secara etimologis) berasal dari bahasa latin yaitu socius yang berarti kawan dan bahasa Yunani yaitu logos yang berarti kata/berbicara/pengetahuan.
Ungkapan ini dipublikasikan pertama kalinya dalam buku yang berjudul ”Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Secara
harfiah sosiologi adalah memperbincangkan teman, lalu kembali diperluas dengan
arti yaitu berbicara mengenai masyarakat (Soerjono, 2003).
v Pengertian sosiologi
menurut para ahli:
1) Albert
J. Reiss Jr (dalam Rianto, 1992): Sosiologi adalah studi tentang
perkumpulan-perkumpulan atau kelompok-kelompok sosial meniru pengorganisasian
atau kelembagaan mereka (institusional), pranata-pranata dan susunan
organisatoris mereka, dan penyebab-penyebab serta konsekuensi dari
pranata-pranata dan organisasi sosial.
2) Emile
Durkheim: Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial,
yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada
di luar individu dimana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk
mengendalikan individu.
3) Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi:
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
4) Soejono
Sukamto: Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi
kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum
kehidupan masyarakat.
5) William
Kornblum: Sosiologi adalah suatu upaya untuk mempelajari masyarakat dan
perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan ke dalam
berbagai kelompok dan kondisi.
6) Allan
Jhonson: Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku,
terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem
tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat di dalamnya
mempengaruhi sistem tersebut.
7) Roucek
& Waren: Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia
dengan kelompok sosial.
8) Soerjono
Soekanto: Sosiologi adalah ilmu yang kategoris, murni, abstrak, berusaha
mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris, serta bersifat umum.
9) Pitirim
Sorokin: Sosiologi adalah ilmu yan mempelajari hubungan dan pengaruh timbal
balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala
keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
dan pengaruh timbal balik antara gejela sosial dengan gejala non-sosial, dan
yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua
jenis gejala-gejala sosial lain.
10) William
F. Ogburn & Mayer F. Nimkopf: Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah
terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
11) J.A.A.
Von Dorn & C.J. Lammers: Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang
struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
12) Max
Weber: Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
13) Paul
B. Horton: Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan
kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
Batasan
sederhana dari sosiologi adalah ilmu
tentang masyarakat. Di sini masyarakat yang menjadi fokus kajian sosiologi.
Kata masyarakat sendiri digunakan dalam konteks kehidupan bersama, yang artinya proses saling mempengaruhi perilaku
seseorang dalam kehidupan bersama.
Pada
dasarnya, sosiologi dalam kehidupan sosial masyarakat sudah diketahui tingkat
keragamannya. Dimana dalam fenomena kehidupan masyarakat ada persamaan atau
perbedaan dalam aspek tingkat perubahan, aspek tindakan sosial atau perilaku,
aspek struktur sosial, dan sebagainya. Dari sini timbul beberapa pertanyaan,
seperti mengapa ada masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat maupun
lambat? Atau mengapa manusia memiliki persamaan dan perbedaan yang sangat
penting dalam hal-hal tertentu? Oleh karena itu perlu ada bidang khusus yang
mengkaji tentang kehidupan sosial masyarakat.
Secara
umum, menurut Veeger (1993), sosiologi mempelajari secara sistematik kehidupan
bersama manusia, sejauh kehidupan itu dapat ditinjau dan diamati dengan metode
empiris. Dan menurut Sanderson (2000) sosiologi berusaha mencari tahu tentang
hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang
teratur dan dapat berulang. Jadi
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan sosial masyarakat dalam arti
kehidupan bersama yang mempunyai berbagai tingkatan.
Sosiologi
merupakan ilmu yang lahir dari hasil observasi
dan pemikiran ilmiah manusia atas
kehidupan bersama. Pemikiran ilmiah akan selalu berusaha untuk menembus
fenomena-fenomena yang tampak sampai ke latar belakangnya. Mencari sebab-akibat
dan menempatkannya dalam suatu hubungan yang lebih besar yang pada umumnya
tidak dapat langsung diamati. Contohnya: orang awam yang tidak terlatih dalam
sosiologi menyaksikan kecelakaan lalu lintas dan memahaminya sebagai akibat
ngebut. Dalam kasus ini sosiologi mempelajari sebanyak mungkin kejadian
kecelakaan lalu lintas dalam waktu dan tempat yang berbeda, kemudian membuat
konsep “agresif”, “frustasi” serta yang lainnya, dilanjutkan dengan menyusun
teori atau hipotesis yan menyatakan frustasi membuat orang menjadi agresif, dan
sikap agresif itulah yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Akhirnya
hipotesis tersebut diuji/dibuktikan di lapangan apakah hipotesisnya bisa
diterima atau ditolak.
Objek
sosiologi adalah manusia. Jauh berbeda dengan pengetahuan alam yang objeknya
berupa benda, manusia dengan perilakunya sangat sulit untuk dipahami dan
dimengerti karena mempunyai perilaku yang sekaligus bercirikan individual dan
sosial. Disatu sisi, manusia menghayati dirinya sebagai pusat aksi atau
kegiatan yang tiada rangkapnya, namun di sisi lain ia berpikir dan bertindak
dengan berpatokan pada suatu pola budaya serta struktur tertentu yang memberi
arah, makna, dan bentuk pada kegiatannya dan membentuk suatu keseragaman dan
keteraturan (Veeger, 1993). Jadi manusia adalah persilangan antara
individualitas dan sosialitas. Manusia juga saling membutuhkan individu lain
dalam menjalankan proses sosialisasinya di masyarakat. Oleh karena itu, tidak akan ada masyarakat tanpa individu,
dan tidak ada individu tanpa masyarakat. Kedua-duanya saling membutuhkan
satu sama lain. Kehidupan bersama memiliki struktur, ditunjang oleh
peraturan-peraturan, pola hirarki, dan lokasi tertentu. Tanpa ada ketiganya
tidak akan mencirikan kehidupan bersama. Sedangkan proses sosial adalah
tindakan-tindakan orang yang secara berkesinambungan menuju pertahanan atau
perubahan.
Sosiologi
di masa lalu tidak selalu berhasil memadukan antara struktur dan proses sosial,
sehingga sosiologi tampak terbagi, ada yang berat ke arah struktur, namun ada
juga yang menitik beratkan semuanya pada proses. Misalnya di tahun 1789,
menyusul revolusi Perancis, masyarakat dilanda krisis moral, sebab kaidah lama
tidak berlaku lagi, sementara kaidah baru belum ada dan tercipta. Dengan
demikian ada keinginan yang besar untuk mengintegrasikan kaidah-kaidah baru
yang mengatur perilaku masyarakat, maka hakikat masyarakat dicari ke dalam
struktur-sruktur sosial. Salah satu sosiolog yang beraliran struktural adalah
Emile Durkheim (1858-1917).
Sifat dasar
sosiologi sebagai ilmu pengetahuan menurut R. Lawang (1989):
1. Empirik,
berdasarkan pengamatan penalaran.
2. Teoritik,
hasil pengamatan yang tersusun dalam bentuk proposisi-proposisi yang
berhubungan secara logis.
3. Kumulatif,
teori sosiologi berkembang dari teori yang ada melalui perbaikan, perluasan dan
penghalusan.
4. Non
etik, tidak menanyakan apakah suatu tindakan perilaku sosial itu baik atau
tidak baik dari segi moral, sosiologi hanya bermaksud menjelaskan.
B.
HAKIKAT
SOSIOLOGI
1. Sosiologi adalah suatu ilmu sosial.
2. Sosiologi bukan merupakan disiplin ilmu yang normatif,
melainkan kategoris. Artinya, sosiologi membatasi diri pada peristiwa yang
terjadi dewasa ini. Bukan mengenai apa yang terjadi atau seharusnya terjadi.
3. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan murni (pure
science). Adapun yang dimaksud dengan pure science adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak serta
hanya untuk mempertinggi mutu. Tujuan sosiologi adalah mendapatkan pengetahuan
sedalam-dalamnya tentang masyarakat dan bukan untuk mempergunakan pengetahuan
tersebut terhadap masyarakat.
4. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak
bukan konkret. Artinya, yang diperhatikan sosiologi adalah bentuk dan pola-pola
peristiwa dalam masyarakat.
5. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan
pengertian-pengertian dan pola-pola umum.
6. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan empiris dan
rasional dilihat dari metode yang digunakan.
7. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan umum. Artinya,
sosiologi mempelajari gejala umum dan selalu ada pada setiap interaksi antar
manusia
C.
STRUKTUR,
PROSES, DAN DUA DEFINISI
Struktur dan proses sosial memungkinkan
adanya dua pandangan dalam mempelajari masyarakat. Mana yang dipentingkan akan
sangat bergantung pada situasi dan kondisi masyarakat. Pada keadaan kemantapan
dan kestabilan dirasa sebagai prasyarat demi kelangsungan masyarakat, aspek
struktural dan keteraturan yang menyeragamkan tingkah laku anggotanya, akan
dipentingkan.
Pandangan di atas sengaja diciutkan agar
mengerti lebih mendalam dari satu segi (struktur) saja. Dalam hal ini para
tokoh sosiologi struktural seperti, Emile Durkheim, Talcott Parsons, Robert K
Merton menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang pranata sosial atau sistem sosial. Komponen yang terkecil adalah peranan sosial (tugas/kewajiban seseorang dalam posisi tertentu). Sebagai contoh:
peran sosial seorang Ayah telah diatur oleh masyarakat yang terdiri atas
beberapa peran, antara lain: sebagai kepala keluarga, pencari nafkah, pelindung
keluarga, dan pendidik anak-anak. Peran sosial ini selain untuk agar terjadi
ketertiban dan kestabilan hidup berkeluarga serta melandasi pranata sosial
keluarga.
Peran sosial memang nyata, namun harus
juga dibarengi dengan pandangan peran dari subyeknya sendiri. Walaupun manusia
dikekang oleh nilai-nilai dan kaidah-kaidah tertentu dalam masyarakat, dia
tetap mempunyai pemikiran untuk memutuskan tindakan apa yang harus dia lakukan.
Kesadaran individual sama mendasarnya
dengan kesadaran kolektif yang dijelaskan oleh Durkheim. Manusia yang bertindak merupakan kajian sosiologi yang dinyatakan
oleh Max Weber. Menurutnya kesatuan paling kecil dari kehidupan bersama
bukanlah peranan sosial melainkan tindakan sosial.
Kelakuan individu seringkali
menyesuaikan dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, namun pada dasarnya
berakar pada pikirannya sendiri. Dalam kondisi ini belum ada kesesuaian antara
perilaku dengan apa yang dipikirkannya.
D.
DUA
GAMBARAN MANUSIA DAN DUA TUJUAN SOSIOLOGI
Sosiologi berawalan dari pertanyaan “siapakah manusia?” atau citra manusia. Sosiologi aliran Naturalisitis (alami)
menyamakan manusia sebagai benda atau makhluk hidup lain yan terdapat di alam
raya. Perilaku dan perkembangan manusia ditentukan oleh hukum-hukum tertentu,
sehingga manusia tidak bebas dan tidak punya kuasa atas dirinya, serta tidak
dapat menetukan kehidupan masyrakatnya sendiri.
Sosiologi
Naturalistik menerangkan tentang hukum-hukum sosial
dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya melalui hukum evolusi, pengaruh
kepentingan ekonomi, lingkungan alam, kekuasaan, dan sebagainya. Salah satu
dari pengkubuan sosiologi naturalistik adalah Teori Pertukaran. Teori ini menjelaskan tiap individu dan kelompok secara
mutlak didorong untuk memenuhi kepentingannya sendiri.
Berikut ini ada dua jalur paham dalam
aliran naturalistik:
·
Pendapat pertama
menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya bersifat stabil akibat diterminisme budaya. Ciri utama masyarakat adalah adanya
konsensus sekitar nilai-nilai yang berperan sebagai daya pemersatu.
·
Pendapat kedua
menyatakan bahwa kehidupan masyarakat justru ditentukan oleh konflik antar
kepentingan yang saling bertentangan.
Jadi,
sosiologi naturalis selalu menggambarkan manusia sebagai makhluk yang tidak
bertanggung jawab sendiri, baik terhadap masyarakat saat ini ataupun di
kemudian hari.
Sedangkan,
sosiologi
aliran Humanistis memiliki keyakinan yang berbeda dengan aliran
naturalistis. Aliran ini menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk istimewa
yang berbeda secara hakiki dengan makhluk lainnya. Keistimewaannya adalah ia
dapat menentukan sendiri perilakunya. Dengan demikian analisis sosiologi
humanistis lebih mementingkan pada arti yang di kenakan orang pada kehidupan
sosial mereka.
E.
SEJARAH
DAN TOKOH SOSIOLOGI
Sejak awal kehidupan manusia, sudah ada
pemikiran tentang kehidupan bersama namun renungan mereka tidak selalu bersifat
ilmiah, sehingga tidak dapat dikatakan sosiologi sudah ada sejak awal dunia.
Pemikiran mengenai maskyarakat yang bersifat kontemplatif, pada awalnya
kebanyakan berupa filsafat.
a)
Plato
(427-347 SM) seorang filsuf dari Athena telah banyak
menyumbangkan buah pikirannya pada perkembangan teori politik dan kehidupan
masyarakat. Teori sosialnya sangat berorientasi kepada masyarakat dan agak
mengesampingkan individu. Dalam sebuah karyanya menyatakan, “kamu telah
diciptakan demi kepentingan masyarakat, dan bukan masyarakat diciptakan demi
kepentingan kamu”.
b)
Aristoteles
(364-322 SM)
Memandang sosiologi dari 4 sisi yaitu:
1) Philia
atau kecenderungan bawaan kepada kebersamaan dan solidaritas
2) Koinonia
atau pembentukan kelompok-kelompok khusus seperti keluarga, desa, perkumpulan
sukarela
3) Koinonia
politik atau yang berkaitan dengan mendirikan suatu negara dan pemerintahan
4) Nomus
yang menujukan keterikatan kepada peraturan sosial, adat istiadat, kaidah moral
dan hukum
c)
Thomas
Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677)
Menurut mereka kehidupan berasal dari
dorongan-dorongan aktif manusia yang mengarah pada individualisme ekstrem.
Namun demikian, adanya pengaruh akal budi mengimbanginya untuk membuat
kesepakatan dan bentuk kehidupan bersama berdasarkan kewajiban-kewajiban yang
diakui bersama.
d)
Montesquieu
(1689-1755)
Mengajarkan kehidupan masyarakat dari
sisi hukum-hukumnya, antara lain adalah hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
e)
Auguste
Comte (1798-1857)
Istilah sosiologi pertama kali
diperkenalkan olehnya. Dia sendiri yang memaka istilah fisika sosial dengan
maksud untuk memberi penegasan, bahwa ilmu masyarakat setara dengan ilmu
eksakta. Namun pada kenyataannya tulisan Comte masih bersfat spekulatif dan
deduktif.
f)
Vilfredo
Pareto (1848-1923)
Menyanggah tulisan dari Auguste Comte, tulisan
Pareto lebih bersifat ilmiah positif, namun sebagian karyanya termasuk kajian
“psikologi sosial”.
g)
Emile
Durkheim (1857-1917)
Julukan “Bapak Sosiologi” diberikan
kepada Durkheim karena penerapan sosiologi dilakukan oleh Durkheim. Sedangkan
julukan “Godfather” diberikan kepada Comte karena ia adalah penggagas sosiologi
sebagai ilmu positif.
h)
Ferdinand
Tonies (1855-1936)
Menentang pandangan sosiologi empirik
sebagai pengumpul data saja dari fakta sosial yang statis. Dalam pemikirannya,
sosiografi merupakan hakikat dari sosiologi yang mencakuop observasi
sistematis, studi kasus, dan metode-metode kualitatif lain yang seharusnya
melengkapi data.
i)
George
Simmel (1858-1918)
Tidak memandang fenomena sosial sebagai
“fakta” yang dari luar manusia mengekang dan mempengaruhi, melainkan sebagai
suatu interaksi individu. Menurutnya pemikiran yang ada dalam diri manusia
merupakan penentu bagi kehidupan manusia.
j)
Max
Weber (1864-1920)
Max Weber memiliki pemikiran yang
sejalan dengan Simmel. Dia merupakan orang yang mencemaskan terjadinya
perubahan relasi keakraban, tolong-menolong, dan keagamaan yang makin diganti
dengan relasi fungsional, terlalu menekankan pertimbangan rasional, serta
motivasi sekular.
Selain kesepuluh tokoh sosiologi di
atas, masih banyak tokoh-tokoh sosiologi yang lain yang juga sangat berperan
penting dalam pembentukkan struktur sosiologi di masyarakat. Mereka adalah Talcott Parsons dan muridnya Robert Merton yang amat berjasa dalam
perkembangan teori sosiologi. Selanjutnya ada Herbert Blumer (interaksionisme simbolik), Harold Garfinkel (etnometodelogi), dan Peter Berger (sintesis strukturalisme dan interaksionisme). Di
Indonesia mulai tersebar konsep-konsep sosiologi dari Ki Hajar Dewantara yang menjelaskan kepemimpinan dan kekeluargaan
dalam masyarakat. Ada juga dosen Indonesia yang pertama kali mengajarkan mata
kuliah sosiologi d Indonesia, ia adalah Soenario
Kolopaking. Selain itu ada Djodi
Gondokusumo yang menjadi penulis pertama buku sosiologi dalam bahasa
Indonesia. Selo Soemardjan juga
berhasil menulis buku sosiologi berbahasa Inggris di Cornell University yang
berjudul “Social Changes in Yogyakarta”.
F.
SOSIOLOGI
DAN ILMU PENGETAHUAN
Sosiogi merupakan suatu ilmu pengetahuan
(science). Dalam pengertian, ilmu pengetahuan yang bersifat induktif (bertolak
belakang dari data Inderawi). Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
kehidupan dan tingkah laku terutama yang berkaitan dengan satu sistem sosial,
dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan dengan
mencoba mengerti sifat dan maksud hidup. Sosiologi dapat membantu kita untuk
mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku kita dalam kehidupan
masyarakat.
G.
TIGA
PARADIGMA SOSIOLOGI YANG MUTAKHIR
Kerangka pandangan dasar yang dipakai
oleh ilmuwan untuk mempelajari obyeknya disebut paradigma. Jadi pengertian
paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok
persoalan dalam ilmu pengetahuan. Berikut ini adalah paradigma-paradigma yang
digunakan oleh para ilmuwan:
1)
Paradigma
Fakta Sosial
Emile Durkheim menjelaskan bahwa hidup sosial manusia adalah fakta tersendiri
yang tidak mungkin dimengerti berdasarkan ciri-ciri personal individu dalam
masyarakat tersebut. Jadi masyarakat dalam strukturnya, yaitu bentuk
pengorganisasiannya, hirarki kekuasaan dan wewenang, peranan-peranan,
nilai-nilai, pranata sosial, merupakan suatu fakta yang terpisah dari individu,
tetapi mempengaruhi individu tersebut.
2)
Paradigma
Definisi Sosial
Max Weber, dalam konsep sosiologinya
menjelaskan verstchen atau pemahaman
yang mendalam yang diharapkan di hasilkan oleh sosiologi. Dalam merancang dan
mendefinisikan arti aksi dan interaksi sosial, manusia di posisikan sebagai
pelaku yang bebas dan bertanggung jawab, dengan kata lain aksi dan interaksi
sosial terjadi karena adanya kemauan dari manusia itu sendiri. Jadi tindakan
sosial seseorang tidak berpokok pangkal pada struktur-struktur sosial, tetapi
berpijak pada definisi bersama yang dimiliki oleh tiap individu.
3)
Paradigma
Perilaku Sosial
George Homas dalam teorinya menjelaskan
bahwa manusia di gambarkan sebagai makhluk yang selalu bertindak sesuai dengan
kepentingannya sendiri. Jadi yang menjadi pokok kajian sosiologi paradigma
perilaku sosial adalah memahami kepentingan-kepentingan
manusia.
H.
TEORI-TEORI
SOSIOLOGI
Teori
adalah seperangkat preposisi yang dinyatakan secara sistematis dan saling
berhubungan secara logis serta di dasarkan secara teguh pada data empiris. Robert
Merton membedakan antara grand theories dan
theories of the middle range. Grand
Theories adalah teori yang mencakup seluruh realitas sosial dalam kehidupan
masyarakat, teori ini bersifat abstrak dan umum. Sedangkan theories of the middle range adalah teori yang tidak bertujuan untuk
mencakup seluruh realitas sosial, tetepi menyoroti aspek terbatas atau gejala
sosial tertentu. Berikut ini adalah teori-teorinya:
1.
Teori
Berparadigma Fakta Sosial
a)
Teori
Fungsionalisme-Struktural: adalah teori yang
mempelajari tentang dampak atau fungsi struktur dan pranata sosial dalam
kehidupan masyarakat yang teratur dan stabil. Prinsip yang di pakai dalam teori
ini adalah adaptasi hidup bersama dengan
situasi lingkungannya.
b)
Teori
Konflik: teori yang menjelaskan tentang
kehidupan sosial sebagai dampak dari struktur kekuasaan dan kepentingan
kelompok. Prinsip dasar dari teori ini adalah kehidupan sosial didominasi oleh pihak yang kuat atas pihak yang lemah.
c)
Teori
Sistem: adalah teori sosial yang menjelaskan
bahwa semua struktur dan pranata sosial
berhubungan satu dengan yang lain. Sehingga jika ada perubahan di salah
satu bidang, maka akan ada perubahan juga di bidang yang lain.
d)
Teori
Makro: adalah teori yang memandang bahwa seluruh kehidupan bermasyarakat disebabkan
oleh proses perkembangan yang berjalan dengan sendirinya.
2.
Teori
Berparadigma Definisi Sosial
a)
Teori
Aksi: teori ini menjelaskan bahwa manusia lah
yang berpikir dan mengungkapkan pikirannya ke dalam masyarakat. Prinsip utama
dalam teori adalah untuk mmahami
kehidupan bersama kuncinya ada di tangan manusia.
b)
Teori
Interaksionisme Simbolik: adalah teori yang
mempunyai prinsip bahwa manusia yang
bertindak memberi dan menginterpretasikan arti tertentu pada tingkah lakunya
dan orang lain.
c)
Teori
Sosiologi Fenomenologi: teori ini lebih
mementingkan “intersubyektifitas”. Teori ini memahami bahwa interaksi sosial
terjadi penafsiran dan pemahaman tindakan masing-masing baik antar individu
maupun antar kelompok.
3.
Teori
Berparadigma Perilaku Sosial
Teori yang mengacu pada paradigma
perilaku sosial antara lain Teori Pertukaran milik George Homas.
Teori Pertukaran (Exchange Theory) dirumuskan
dalam 5 proposisi yang saling berhubungan, yakni:
a. Semakin
sering tindakan seseorang memperoleh imbalan, maka orang itu akan kerap kali
melakukan tindakan yang sama.
b. Jika
ada stimuli terhadap sesuatu tindakan yang menyebabkan seseorang mendapat
imbalan, maka stimuli yang mirip akan membuat orang untuk melakukan tindakan
serupa.
c. Semakin
tinggi nilai suatu tindakan, maka orang akan kian menyenangi tindakannya
tersebut.
d. Semakin
seseorang menerima imbalan, maka nila dari setiap unit imbalan tersebut akan
dirasakan menjadi kurang bernilai.
e. Bila
tindakan seseorang tidak memperoleh imbalan, maka dia akan kecewa dan menunjukkan
kecenderungan agresif.
I.
BIDANG-BIDANG
SOSIOLOGI
Dalam penerapannya sosiologi terbagi
dalam berbagai bidang, diantaranya adalah: sosiologi umum, sosiologi agama,
sosiologi hukum, sosiologi etika, kriminologi, sosiologi ekonomi, morfoloi
sosial, dan sosiologi kesenian. Saat ini di Amerika studi sosiologi di Amerika
mencakup sedikitnya 40 bidang yang dicakup beberapa kelompok penting yaitu:
teori sosiologi dan metodelogi, orde sosial termasuk institusi dan struktur
sosial komparatif, serta kelompok sosial seperti keluarga, partai politik dan
lain-lain.
HAKIKAT
DAN KONSEP SOSIOLOGI POLITIK
A.
PENGERTIAN
SOSIOLOGI POLITIK
Sosiologi Politik berasal dari dua kata,
yang secara terpisah mempunyai arti sendiri-sendiri sebagai suatu disiplin
ilmu, yaitu sosiologi dan politik. Istilah “sosiologi” pertama kali dimunculkan
oleh Auguste Comte, salah seorang pendiri disiplin ilmu ini, pada tahun 1839 di
dalam bukunya Cours de Philosphie
Positive, jilid IV (Duverger, 1989, hal 1). Secara sederhana “sosiologi”
berarti studi tentang masyarakat dipandang dari suatu segi tertentu. Comte dan
Spencer (1820-1903) yang juga seorang pendiri lannya (Rush dan Althoff, 1990:
1), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisi sosiologis.
Sementara, berbagai lembaga lainnya, seperti: keluarga, dan lembaga-lembaga
politik, ekonomi dan keagamaan dan interelasi antara lembaga-lembaga tersebut
merupakan substrip unit dari analisk.
Miriam Budiarjo mengemukakan bahwa
konsep-konsep pokok mengenai politik adalah negara (state), kekuasaan (power),
pengambila keputusan (decision making), kebijaksaan (policys beleid), dan
pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Jadi, menurut Miriam
Budiarjo politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau
negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sitem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di dalamnya terdapat proses pengambilan
keputusan. Duverger (1989), dalam perikirannya menggangap sosioogi politik
menjadi 2 arti, yaitu: “ilmu tentang
negara” dan “ilmu tentang kekuasaan”.
B.
KONSEP
SOSIOLOGI POLITIK SEBAGAI ILMU NEGARA DAN SEBAGAI ILMU KEKUASAAN
Konsep ini mempergunakan kata politik
dalam konotasi yang biasa, yaitu yang berhubungan dengan negara. Kata negara
disini dimaksudkan untuk mengartikan kategori khusus dari kelompok-kelompok
manusia atau masyarakat.
Pendefinisian sosiologi politi sebgai
ilmu negara berarti menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial yang
didasarkan pada hakikat dari masyarakat-masyarakat yang di pelajari.
Sementara definisi dari sosiologi
politik sebagai ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di
dalam semua masyarakat, manusia bukan saja di dalam masyarakat nasional. Konsep
ini dikemukakan oleh Leon Duguits, ahli hukum Perancis, yang dinamakan
perbedaan antara yang memerintah (goverments) dan yang di perintah (gouvemes).
Dia mengemukakan bahwa dalam setiap kelompok manusia dari yang terkecil sampai
yang terbesar, dari yang sifatnya sementara sampai yang stabil, ada orang yang
memerintah dan mereka yang di perintah, mereka yang memberikan perintah dan
mereka yang menaatinya, mereka yang membuat keputusan dan mereka yang mematuhi
keputusan tersebut. Pembedaan ini merupakan fakta politik yang fundamental yang
berada pada setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.
C.
SKEMA
KONSEPTUAL
Skema konsepsi ini di landaskan pada 4
konsep, yaitu: sosialisasi politik, partisipasi politik, perekrutan politik,
dan komunikasi politik. Keseluruhan konsep ini saling bergantung dan berkaitan
satu sama lain.
Berikut adalah definisi dari ke empat
konsep tersebut:
1) Sosialisasi politik
adalah proses, yang menentukan pengaruh apa yang membuat seseorang bisa
mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya
mengenai politik serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi
politik ini merupakan mata rantai paling penting di antara sistem-sitem sosial
dengan sistem-sistem politik.
2) Partisipasi politik
adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam
sistem politik. Partisipasi politik antar masyarakat sangat berbeda dengan
masyarakat yang lainnya, karena hal ini menyangkut tentang aktivitas politik
sampai aktivitas jabatannya.
3) Perekrutan politik
adalah proses dimana tiap individu menjamin atau mendaftarkan dirinya untuk
menduduki sebuah jabatan. Perekrutan ini bisa bersifat formal dan informal.
Setiap individu mampu mendapat kesempatan atau bisa juga ia didekati oleh orang
lain untuk kemudian bisa menjabat posisi-posisi tertentu.
4) Komunikasi politik
adalah proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari suatu
bagian sistem politik kepada sistem politik di bagian lainnya. Kejadian
tersebut merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula pertukaran
informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua
tingkat masyarakat.
PENGERTIAN SOSIALISASI
POLITIK
Sosialisasi
Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang
berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik
demokratis, otoriter, diktator, dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan
proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
Pada
dasarnya, sosialisasi politik adalah proses dimana individu-individu dapat
memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik
masyarakatnya.
Pengertian Sosialisasi
Politik Menurut Para Ahli
a.
David
F. Arbele, dalam “Culture and
Socialization”
Sosialisasi
politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku,
yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu
pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan
peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan
manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
b.
Gabriel
A. Almond
Sosialisasi
politik menunjukan pada proses diamana sikap-sikap politik dan pola-pola
tingkah laku politik atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu
generasu untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan
politik kepada generasi berikutnya.
c.
Irvin
L. Child
Sosialisasi
politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan
banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, di tuntut untuk mengembangkan
tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai
dengan standar-standar dari kelompoknya.
d.
Richard
E. Dawson dkk,
Sosialisasi
politik dapat di pandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan
pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi
yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
e.
S.N.
Eisentadt, dalam from generation to
ganeration
Sosialisasi
politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa
individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi
umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.
f.
Denis
Kavanagh
Sosialisasi
politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan
pandangannya tentang politik.
g.
Alfian
Mengartikan
pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi
politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai
yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun.
Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang
mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan engan itu lahir
pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yakni:
Pertama:
sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan
terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua:
sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara
langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nali-nilai atau
perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung dalam
keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak
politik langsung.
MANUSIA INDONESIA
DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA
Gambaran
umum masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dan pluralistis.
Kemajemukan masyarakat bisa dilihat dari segi horizontal seperti perbedaan
etnis, bahasa daerah, agama dan geografis maupun dari segi vertikal seperti
perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi dan tingkat sosial budaya (Usman Pelly
& Asih Menanti,1994). Manusia Indonsia yang diinginkan adalah manusia
seutuhnya yaitu manusia yang dididik untuk mencapai keselarasan dan
keseimbangan baik dalam hidup manusia pribadi, makhluk sosial, dalam hubungan
manusia dengan masyarakat, sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhannya
dalam mengejar kemajuan dan kebahagiaan rohaniah (ibid: 14).
Sumber
Daya Manusia adalah kunci sehingga perlu dipersiapkan secara terstruktur dan
terencana. Banyak dari kalangan dan budayawan Indonesia yang mengenali
sisi-sisi negatif manusia Indonesia, diantaranya uraian “manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis dan “mental menerabas”-nya Koentjaraningrat.
Mochtar
Lubis secara lisan pada tahun 1977, menyebut enam ciri manusia Indonesia. (1)
meliputi hipokrit alias munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatan
dan keputusannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik, dan (6)
berwatak lemah.
Koentjaraningrat
(2004) menyatakan bahwa manusia Indonesia mengidap mentalitas yang lemah, yaitu
konsepsi atau pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan yang sudah lama
mengendap dalam alam pikiran masyarakat, karena terpengaruh atau bersumber kepada
sistem nilai budaya (culture value
system) sejak beberapa generasi yang lalu, dan yang baru timbul sejak zaman
revolusi yang tidak bersumber dari sistem nilai budaya pribumi. Ia juga
memperinci kelemahan mentalitas manusia Indonesia, diantaranya: (1) sifat
mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3)
sifat tak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, (5)
sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Dalam
hal ini Mansyur Semma (2008) juga menambahkan dan mengutip pendapat Samuel P.
Huntington tentang kondisi masyarakat mempersubur korupsi. Korupsi cenderung
meningkat dalam periode pertumbuhan dan demokratisasi yang cepat karena
perubahan nilai dan sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan.
Kemudian
Ryan Sugiarto (2009: 11-13) memperinci watak negatif manusia Indonesia dengan
mengemukakan 55 kebiasaan kecil yang menghancurkan bangsa. Walaupun demikian
kita yakin bahwa masih banyak diantara manusia Indonesia yang memiliki
kebiasaan positif atau memiliki karakter yang baik.
Namun
demikian keadaan manusia Indonesia bisa diubah dan harus berubah seiring
berjalannya waktu. Dimulai dengan melakukan perubahan sistem nilai budaya (culture value system). Misalnya,
membuat perbandingan pengalaman negara lain sebagai bahan belajar dan perbaikan
internal secara radikal.
PENDEKATAN SOSIOLOGI
DAN SISTEM NILAI BUDAYA
Dalam
sosiologi dibutuhkan dua pendekatan yang mampu mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh manusia Indonesia. Dua pendekatan itu adalah pendekatan sosiologi khususnya teori sibernatik Talcott Parson dan sistem nilai budaya (Culture Value System) khususnya kerangka mengenai lima dasar nilai
budaya manusia Kluckhohn.
Pertama,
Pendekatan Sosiologi. Pada dasarnya
sosiologi melihat manusia dalam serba keterhubungannya dengan manusia atau
orang lain. Manusia adalah manusia dalam masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1986).
Dengan melihat dari keterhubungan manusia-masyarakat tersebut, kita dapat
melihat aspek-aspek mana yang muncul manakala kita membicarakan manusia itu,
yaitu: sistem kepribadian yang menyangkut diri manusia tu sendiri, sistem
sosial, dan sistem kebudayaan, seperti yang telah dijelaskan oleh Talcott
Parson.
Tindakan
manusia tidak pernah bisa terlepas dari jaringan struktur yang merangkumnya.
Oleh karena itu, dari sudut pemahaman sosiologi sulit untuk melihat tindakan
manusia itu sebagai suatu perbuatan yang spontan, melainkan sebagai hasil
perhitungannya dengan struktur yang merangkumnya, baik berupa perbuatan yang
sesuai dengan struktur maupun yang menentangnya (Satjipto Rahardjo, 1986).
Konsep
manusia dan masyarakat ada dua aliran yang membahasnya. Pertama, yang diwakili
oleh Rousseau, dimana bangunan pemikiran Rousseau terhadap manusia didirikan
pada tatanan dimana manusia sebagai individu dalam menunjang kemajuan suatu
masyarakat. Rousseau berpendirian bahwa man’s
impules, passions dan reasons yang menentukan masyarakatnya (Loekman
Soetrisno, 1986: 56). Aliran yang kedua diwakili oleh
Louis De Bonald dan Auguste Comte, dimana Bonald berpendapat bahwa bukan
individu-individu yang menunjang kemajuan masyarakat tetapi justru sebaliknya,
masyarakatlah yang menentukan individu-individu yang tinggal dalam masyarakat
itu. Bonald berpendapat bahwa hanya dalam masyarakat kita akan mendapati ideas and symbols, dan masyarakatlah
yang mengkomunikasikan keduanya kepada individu manusia.
Auguste
Comte berpendapat bahwa krisis yang dihadapi oleh masyarakat Eropa pada waktu
abad pencerahan disebabkan karena individualisme yang melanda masyarakat Eropa
melalui gerakan reformasi. Comte melihat bahwa manusia adalah nonrational. Oleh karena itu,
menurutnya, individual liberty justru
akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu
dalam masyarakat, manusia tak seorangpun dapat berpendapat lain daripada apa
yang telah diputuskan oleh golongan tertinggi masyarakat yaitu the intellectual-scientific-religious group (Bottomore
dan Robert Nisbet dalam Soetrisno, 1986). Comte juga berpendapat bahwa
Modernisasi berbahaya bagi budaya dan tertib sosial, karena spirit modernisasi
menciptakan manusia yang individualistik.
Semenjak
revolusi industri membebaskan manusia dari kedudukannya yang pasif dan
ketergantungannya pada alam, maka secara perlahan manusia masuk ke dalam
situasi keterikatan yang lain, bahkan sangat mengekang sifatnya. Alam mengikat
manusia dengan cara memangku dan menghidupinya, sedangkan teknologi mencengkram
manusia dengan memberikan kemudahan-kemudahan, kenikmatan-kenikmatan tertentu
dan secara bersamaan menekan dan merusaknya, hingga manusia tidak mampu lagi
menghindarkan diri dari ketergantungan terhadap teknologi modern.
Rahardjo
juga menjelaskan bahwa masyarakat dan pemerintah sudah tidak lagi dilakukan
oleh manusia, melainkan oleh mesin. Manusia menjadi bionik, masyarakat menjadi sosionik
dan pemerintah menjadi administronik.
Ruh kemanusiaan telah hilang dari sisi-sisi kehidupan manusia, yang ada adalah
manusia hidup seperti robot yang diatur oleh teknologi. Pergulatan besar yang
sedang berlangsung sekarang ini pada hakekatnya adalah bagaimana mengembalikan
semuanya kembali ke tangan manusia. Dengan perkataan lain, bagaimana
mesin-mesin itu kembali menjadi hamba dan bukan menjadi tuan manusia.
Talcott
Parson (dalam Ritzer & Goodman, 2004) mengatakan bahwa ada 4 subsistem yang
menjalankan fungsi utama dalam kehidupan masyarakat yang dikenal dengan sistem
“tindakan” yaitu dengan skema AGIL:
1. Fungsi
Adaptasi (Adaptation) dilaksanakan
oleh subsistem ekonomi, contoh: melaksanakan produksi & distribusi
barang-jasa, dimana jalur produksi dan distribusi barang dan jasa untuk
menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan seadil-adilnya
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
2. Fungsi
Pencapaian Tujuan (Goal Attainment) dilaksanakan
oleh subsistem Politik, contoh: melaksanakan distribusi-distribusi kekuasaan
& memonopoli unsur paksaan yang sah (negara). Dalam pembagian kekuasaan ini
harus didasarkan kepada erika dan moral politik (moral excellent) untuk menghindari kekuasaan absolut dan tindakan
korupsi yang dilakukan kaum elite.
3. Fungsi
Integrasi (Integration) dilaksanakan
oleh subsistem hukum dengan cara mempertahankan keterpaduan antara komponen
yang beda pendapat/konflik untuk mendorong terbentuknya solidaritas sosial.
4. Fungsi
Mempertahankan Pola & Struktur Masyarakat (Lattent Pattern Maintenance) dilaksanakan oleh subsistem budaya
menangani urusan pemeliharaan nilai-nilai & norma-norma budaya yang berlaku
dengan tujuan kelestarian struktur masyarakat dibagi menjadi subsistem
keluarga, agama, dan pendidikan.
Kedua,
Pendekatan Sistem Nilai Budaya (Culture Value System).
Pendekatan ini untuk memperbaiki mentalitas manusia Indonesia yang lemah karena
faktor nilai budaya negatif dan inferior
complex yang diwariskan penjajah kepada bangsa Indonesia. Koentjaraningrat
(2004) menyatakan, sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang
hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang
harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Untuk menganalisis sistem nilai
budaya Koentjaraningrat menggunakan kerangka Kluckhohn, yaitu lima dasar nilai
budaya manusia:
1. Hakekat
hidup manusia. Ada kebudayaan yang menganggap hakekat hidup manusia adalah
buruk dan menyedihkan, namun manusia dapat berusaha untuk mengubah dirinya dari
kondisi buruk ke arah kondisi yang lebih baik dan bahagia.
2. Karya
manusia dalam kebudayaan pada hakekatnya bertujuan untuk menjaga eksistensi
kehidupannya, memberikan status dan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat,
dan sebagai usaha untuk menghasilkan produk yang lebih banyak lagi.
3. Kedudukan
manusia dengan ruang waktu berinteraksi dengan kehidupan masa lalu sebagai
cermin untuk memandang kehidupan ke masa depan. Sehingga manusia mampu untuk
menghargai dan menggunakan ruang waktunya untuk kemajuan hidupnya.
4. Hubungan
manusia dengan alam sekitarnya, agar terjalin secara harmonis, maka manusia
harus mampu menyikapi alam dengan bijaksana. Melakukan eksploitasi alam tanpa
melupakan upaya-upaya pemeliharaan dan pelestariannya. Agar alam tidak “marah”
dan dapat berlanjut kepada anak cucu kelak di kemudian hari.
5. Hubungan
manusia dengan sesamanya dapat tetap terpelihara, apabila mereka mampu bekerja
sama dan saling pengertian. Dengan cara seperti itulah kehidupan masyarakat
dapat terpelihara tertib sosialnya yang diikat dengan sistem sosial dan sistem
budaya.
Selain
itu, untuk menjawab persoalan kualitas manusia Indonesia, Mochtar Lubis juga
menyarankan agar melakukan suatu penelitian yang komprehensif dan tidak
berhenti pada 5 (lima) karakter negatif yang sudah dipaparkan di atas. Dimana
masih banyak budaya kebaikan yang dimiliki bangsa Indonesia telah menjadi
karakter positif dan berjalan di tengah-tengah masyarakat, misalnya budaya
gotong royong, kasih sayang orang tua kepada anaknya, dan sebaliknya, hati yang
damai/lembut, bersabar, dan cepat belajar.
Walaupun
untuk kehidupan masyarakat di perkotaan sepertinya budaya positif tersebut
mulai luntur dan tidak sedikit yang meninggalkannya. Hal ini menjad tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat untuk menumbuhkan kembali budaya positif
tersebut. Dan lembaga pendidikan baik di rumah, sekolah, maupun d masyarakat
menjadi sarana yang paling ideal untuk melaksankannya.
Sedangkan
nilai-nilai negatif yang berasal dari bangsa asing baik yang dibawa pada masa
penjajahan maupun karena adanya dampak globalisas, maka pemerintah harus mebuat
peraturan yang membatasi efek globalisasi tersebut walaupun tidak bisa sama
sekali menghindarinya dan mengganti budaya-budaya penjajah dengan budaya genuine Indonesia yang positif, serta
disusunnya kurikulum berbasis budaya lokal untuk pendirian.
Namun,
dengan kondisi masyarakat sekarang ini, usaha perbaikan ke arah yang positif
pasti akan menemui berbagai macam hambatan. Misalnya, jumlah penduduk yang
sekarang mencapai lebih dari 200 juta menjadi kendala tersendiri, jika jumlah
penduduk dipastikan kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan juga akan semakin
meningkat. Hal ini jika tidak diantisipasi akan menimbulkan kerawanan pangan,
persaingan memperoleh pekerjaan semakin meningkat, lahan pertanian banyak
berubah menjadi tempat hunian, keberadaan hutan semakin menyempit, dan
berdampak kepada semakin meningkatnya problem penumpukan sampah, banjir,
bencana alam, kemiskinan, dan sebagainya.
Belum
lagi masalah karakter negatif bangsa yang sangat sulit dirubah kalu hanya
mengandalkan kesadaran warga negara. Kasus korupsi yang tidak pernah
habis-habisnya, peredaran dan penggunaan narkoba, pornografi dan pornoaksi,
tawuran, kriminalitas dan sebagainya telah membawa masyarakat ke jurang
dekadensi moral yang lebih parah lagi. Jika ini benar-benar terjadi, maka
kualitas atau mentalitas manusia Indonesia akan semakin memburuk, dan pada
akhirnya bangsa ini akan semakin berat menanggung beban segala permasalahannya.
Dengan begitu apakah Indonesia akan
menuju kebangkitan? Atau yang terparah akan mengalami kehancurannya?
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tindakan dan perilaku seorang individu
sulit ditebak dan diprediksi. Oleh karena itu, kemudian sosiologi pun muncul
sebagai ilmu yang mempelajari manusia dengan tindakan dan perilakunya tersebut.
Sosiologi adalah imu pengetahuan yang lahir belakangan dibandingkan dengan ilmu
pengetahuan alam. Namun sosiologi lebih banyak mempelajari tentang manusia
dengan segala tindakan dan perilaku kehidupannya sehari-hari. Batasan sederhana
dari sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Sosiologi modern pun sekarang
tidak hanya membicarakan tentang dasar dari perilaku seorang individu, tapi
juga membicarakan sosialisasi individu dari berbagai bidang, yang diantaranya
adalah sosialisasi politik dan sosialisasi kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar