Selasa, 07 Januari 2014

Ilmu Pengetahuan dan Sosiologi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Bangsa Indonesia telah mengalami banyak perubahan yang sangat radikal di segala lini kehidupan. Baik dalam dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Keberlangsungan nilai-nilai ideologi bangsa, sosial, politik, ekonomi, dan budaya mulai terputus dengan sejarah masa lalu. Meminjam istilah dari Endang Sumantri, bahwa bangsa Indonesia mengalami masa-masa discontinue, unlinier, dan unpredictable 

Dengan kondisi yang seperti ini masyarakat akan memicu tindakan-tindakan anarkis yang menampakan antisosial dan antikemapanan, seperti demonstrasi yang merusak. Para pejabat bahkan petinggi-petinggi negara semakin menumpuk kekayaan pribadinya dengan cara korupsi atau menyelewengkan amanahnya. Tawuran antar pelajar dan mahasiswa semakin marak terjadi, penggunaan obat-obatan terlarang dan pornografi sudah menjadi konsumsi sehari-hari di kalangan remaja tertentu yang tentunya mengancam masa depan remaja sebagai generasi masa depan bangsa. Permainan politik dan hukum yang membuat orang-orang yang tidak bersalah harus merasakan hukuman yang tidak seharusnya mereka terima juga semakin marak terjadi.

Disinilah peran sosiologi sebagai ilmu pengetahuan untuk mengurai satu-persatu masalah Indonesia dalam berbagai lini kehidupan. Yang akan menghubungkan antara: Sosiologi-Politik, Sosiologi-Budaya, Sosiologi-Ekonomi, dan Sosiologi-Hukum, lewat paradigma-paradigma dan pembahasan para ahli mengenai arti sosiologi.

B.     TUJUAN
Untuk memberikan gambaran dari pandangan-pandangan yang berbeda oleh para ahli/sosiolog dalam mengatasi permasalahan yang semakin banyak terjadi di berbagai lini kehidupan di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SOSIOLOGI
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan lahir belakangan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan alam. Sosiologi merupakan bagian dari human sciences atau ilmu-ilmu manusia. Kekhususan sosiologi ini adalah mempelajari dan membahas tentang perilaku masyarakat manusia yang berkaitan dengan struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliknya.
Sosiologi (secara etimologis) berasal dari bahasa latin yaitu socius yang berarti kawan dan bahasa Yunani yaitu logos yang berarti kata/berbicara/pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan pertama kalinya dalam buku yang berjudul ”Cours De Philosophie Positive”  karangan August Comte (1798-1857). Secara harfiah sosiologi adalah memperbincangkan teman, lalu kembali diperluas dengan arti yaitu berbicara mengenai masyarakat (Soerjono, 2003).
v  Pengertian sosiologi menurut para ahli:
1)      Albert J. Reiss Jr (dalam Rianto, 1992): Sosiologi adalah studi tentang perkumpulan-perkumpulan atau kelompok-kelompok sosial meniru pengorganisasian atau kelembagaan mereka (institusional), pranata-pranata dan susunan organisatoris mereka, dan penyebab-penyebab serta konsekuensi dari pranata-pranata dan organisasi sosial.
2)      Emile Durkheim: Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu dimana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
3)       Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi: Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
4)      Soejono Sukamto: Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
5)      William Kornblum: Sosiologi adalah suatu upaya untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai kelompok dan kondisi.
6)      Allan Jhonson: Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat di dalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
7)      Roucek & Waren: Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok sosial.
8)      Soerjono Soekanto: Sosiologi adalah ilmu yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris, serta bersifat umum.
9)      Pitirim Sorokin: Sosiologi adalah ilmu yan mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejela sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
10)  William F. Ogburn & Mayer F. Nimkopf: Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
11)  J.A.A. Von Dorn & C.J. Lammers: Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
12)  Max Weber: Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
13)  Paul B. Horton: Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
Batasan sederhana dari sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Di sini masyarakat yang menjadi fokus kajian sosiologi. Kata masyarakat sendiri digunakan dalam konteks kehidupan bersama, yang artinya proses saling mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan bersama.
Pada dasarnya, sosiologi dalam kehidupan sosial masyarakat sudah diketahui tingkat keragamannya. Dimana dalam fenomena kehidupan masyarakat ada persamaan atau perbedaan dalam aspek tingkat perubahan, aspek tindakan sosial atau perilaku, aspek struktur sosial, dan sebagainya. Dari sini timbul beberapa pertanyaan, seperti mengapa ada masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat maupun lambat? Atau mengapa manusia memiliki persamaan dan perbedaan yang sangat penting dalam hal-hal tertentu? Oleh karena itu perlu ada bidang khusus yang mengkaji tentang kehidupan sosial masyarakat.
Secara umum, menurut Veeger (1993), sosiologi mempelajari secara sistematik kehidupan bersama manusia, sejauh kehidupan itu dapat ditinjau dan diamati dengan metode empiris. Dan menurut Sanderson (2000) sosiologi berusaha mencari tahu tentang hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang teratur dan dapat berulang. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan sosial masyarakat dalam arti kehidupan bersama yang mempunyai berbagai tingkatan.
Sosiologi merupakan ilmu yang lahir dari hasil observasi dan pemikiran ilmiah manusia atas kehidupan bersama. Pemikiran ilmiah akan selalu berusaha untuk menembus fenomena-fenomena yang tampak sampai ke latar belakangnya. Mencari sebab-akibat dan menempatkannya dalam suatu hubungan yang lebih besar yang pada umumnya tidak dapat langsung diamati. Contohnya: orang awam yang tidak terlatih dalam sosiologi menyaksikan kecelakaan lalu lintas dan memahaminya sebagai akibat ngebut. Dalam kasus ini sosiologi mempelajari sebanyak mungkin kejadian kecelakaan lalu lintas dalam waktu dan tempat yang berbeda, kemudian membuat konsep “agresif”, “frustasi” serta yang lainnya, dilanjutkan dengan menyusun teori atau hipotesis yan menyatakan frustasi membuat orang menjadi agresif, dan sikap agresif itulah yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Akhirnya hipotesis tersebut diuji/dibuktikan di lapangan apakah hipotesisnya bisa diterima atau ditolak.
Objek sosiologi adalah manusia. Jauh berbeda dengan pengetahuan alam yang objeknya berupa benda, manusia dengan perilakunya sangat sulit untuk dipahami dan dimengerti karena mempunyai perilaku yang sekaligus bercirikan individual dan sosial. Disatu sisi, manusia menghayati dirinya sebagai pusat aksi atau kegiatan yang tiada rangkapnya, namun di sisi lain ia berpikir dan bertindak dengan berpatokan pada suatu pola budaya serta struktur tertentu yang memberi arah, makna, dan bentuk pada kegiatannya dan membentuk suatu keseragaman dan keteraturan (Veeger, 1993). Jadi manusia adalah persilangan antara individualitas dan sosialitas. Manusia juga saling membutuhkan individu lain dalam menjalankan proses sosialisasinya di masyarakat. Oleh karena itu, tidak akan ada masyarakat tanpa individu, dan tidak ada individu tanpa masyarakat. Kedua-duanya saling membutuhkan satu sama lain. Kehidupan bersama memiliki struktur, ditunjang oleh peraturan-peraturan, pola hirarki, dan lokasi tertentu. Tanpa ada ketiganya tidak akan mencirikan kehidupan bersama. Sedangkan proses sosial adalah tindakan-tindakan orang yang secara berkesinambungan menuju pertahanan atau perubahan.
Sosiologi di masa lalu tidak selalu berhasil memadukan antara struktur dan proses sosial, sehingga sosiologi tampak terbagi, ada yang berat ke arah struktur, namun ada juga yang menitik beratkan semuanya pada proses. Misalnya di tahun 1789, menyusul revolusi Perancis, masyarakat dilanda krisis moral, sebab kaidah lama tidak berlaku lagi, sementara kaidah baru belum ada dan tercipta. Dengan demikian ada keinginan yang besar untuk mengintegrasikan kaidah-kaidah baru yang mengatur perilaku masyarakat, maka hakikat masyarakat dicari ke dalam struktur-sruktur sosial. Salah satu sosiolog yang beraliran struktural adalah Emile Durkheim (1858-1917).
Sifat dasar sosiologi sebagai ilmu pengetahuan menurut R. Lawang (1989):
1.      Empirik, berdasarkan pengamatan penalaran.
2.      Teoritik, hasil pengamatan yang tersusun dalam bentuk proposisi-proposisi yang berhubungan secara logis.
3.      Kumulatif, teori sosiologi berkembang dari teori yang ada melalui perbaikan, perluasan dan penghalusan.
4.      Non etik, tidak menanyakan apakah suatu tindakan perilaku sosial itu baik atau tidak baik dari segi moral, sosiologi hanya bermaksud menjelaskan.

B.     HAKIKAT SOSIOLOGI
1.      Sosiologi adalah suatu ilmu sosial.
2.      Sosiologi bukan merupakan disiplin ilmu yang normatif, melainkan kategoris. Artinya, sosiologi membatasi diri pada peristiwa yang terjadi dewasa ini. Bukan mengenai apa yang terjadi atau seharusnya terjadi.
3.      Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan murni (pure science). Adapun yang dimaksud dengan pure science adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak serta hanya untuk mempertinggi mutu. Tujuan sosiologi adalah mendapatkan pengetahuan sedalam-dalamnya tentang masyarakat dan bukan untuk mempergunakan pengetahuan tersebut terhadap masyarakat.
4.      Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak bukan konkret. Artinya, yang diperhatikan sosiologi adalah bentuk dan pola-pola peristiwa dalam masyarakat.
5.      Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum.
6.      Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan empiris dan rasional dilihat dari metode yang digunakan.
7.      Sosiologi adalah ilmu pengetahuan umum. Artinya, sosiologi mempelajari gejala umum dan selalu ada pada setiap interaksi antar manusia

C.    STRUKTUR, PROSES, DAN DUA DEFINISI
Struktur dan proses sosial memungkinkan adanya dua pandangan dalam mempelajari masyarakat. Mana yang dipentingkan akan sangat bergantung pada situasi dan kondisi masyarakat. Pada keadaan kemantapan dan kestabilan dirasa sebagai prasyarat demi kelangsungan masyarakat, aspek struktural dan keteraturan yang menyeragamkan tingkah laku anggotanya, akan dipentingkan.
Pandangan di atas sengaja diciutkan agar mengerti lebih mendalam dari satu segi (struktur) saja. Dalam hal ini para tokoh sosiologi struktural seperti, Emile Durkheim, Talcott Parsons, Robert K Merton menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang pranata sosial atau sistem sosial. Komponen yang terkecil adalah peranan sosial (tugas/kewajiban seseorang dalam posisi tertentu). Sebagai contoh: peran sosial seorang Ayah telah diatur oleh masyarakat yang terdiri atas beberapa peran, antara lain: sebagai kepala keluarga, pencari nafkah, pelindung keluarga, dan pendidik anak-anak. Peran sosial ini selain untuk agar terjadi ketertiban dan kestabilan hidup berkeluarga serta melandasi pranata sosial keluarga.
Peran sosial memang nyata, namun harus juga dibarengi dengan pandangan peran dari subyeknya sendiri. Walaupun manusia dikekang oleh nilai-nilai dan kaidah-kaidah tertentu dalam masyarakat, dia tetap mempunyai pemikiran untuk memutuskan tindakan apa yang harus dia lakukan.
Kesadaran individual sama mendasarnya dengan kesadaran kolektif yang dijelaskan oleh Durkheim. Manusia yang bertindak merupakan kajian sosiologi yang dinyatakan oleh Max Weber. Menurutnya kesatuan paling kecil dari kehidupan bersama bukanlah peranan sosial melainkan tindakan sosial.
Kelakuan individu seringkali menyesuaikan dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, namun pada dasarnya berakar pada pikirannya sendiri. Dalam kondisi ini belum ada kesesuaian antara perilaku dengan apa yang dipikirkannya.

D.    DUA GAMBARAN MANUSIA DAN DUA TUJUAN SOSIOLOGI
Sosiologi berawalan dari pertanyaan “siapakah manusia?” atau citra manusia. Sosiologi aliran Naturalisitis (alami) menyamakan manusia sebagai benda atau makhluk hidup lain yan terdapat di alam raya. Perilaku dan perkembangan manusia ditentukan oleh hukum-hukum tertentu, sehingga manusia tidak bebas dan tidak punya kuasa atas dirinya, serta tidak dapat menetukan kehidupan masyrakatnya sendiri.
Sosiologi Naturalistik menerangkan tentang hukum-hukum sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya melalui hukum evolusi, pengaruh kepentingan ekonomi, lingkungan alam, kekuasaan, dan sebagainya. Salah satu dari pengkubuan sosiologi naturalistik adalah Teori Pertukaran. Teori ini menjelaskan tiap individu dan kelompok secara mutlak didorong untuk memenuhi kepentingannya sendiri.
Berikut ini ada dua jalur paham dalam aliran naturalistik:
·         Pendapat pertama menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya bersifat stabil akibat diterminisme budaya. Ciri utama masyarakat adalah adanya konsensus sekitar nilai-nilai yang berperan sebagai daya pemersatu.
·         Pendapat kedua menyatakan bahwa kehidupan masyarakat justru ditentukan oleh konflik antar kepentingan yang saling bertentangan.
Jadi, sosiologi naturalis selalu menggambarkan manusia sebagai makhluk yang tidak bertanggung jawab sendiri, baik terhadap masyarakat saat ini ataupun di kemudian hari.
Sedangkan, sosiologi aliran Humanistis memiliki keyakinan yang berbeda dengan aliran naturalistis. Aliran ini menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk istimewa yang berbeda secara hakiki dengan makhluk lainnya. Keistimewaannya adalah ia dapat menentukan sendiri perilakunya. Dengan demikian analisis sosiologi humanistis lebih mementingkan pada arti yang di kenakan orang pada kehidupan sosial mereka.

E.     SEJARAH DAN TOKOH SOSIOLOGI
Sejak awal kehidupan manusia, sudah ada pemikiran tentang kehidupan bersama namun renungan mereka tidak selalu bersifat ilmiah, sehingga tidak dapat dikatakan sosiologi sudah ada sejak awal dunia. Pemikiran mengenai maskyarakat yang bersifat kontemplatif, pada awalnya kebanyakan berupa filsafat.
a)      Plato (427-347 SM) seorang filsuf dari Athena telah banyak menyumbangkan buah pikirannya pada perkembangan teori politik dan kehidupan masyarakat. Teori sosialnya sangat berorientasi kepada masyarakat dan agak mengesampingkan individu. Dalam sebuah karyanya menyatakan, “kamu telah diciptakan demi kepentingan masyarakat, dan bukan masyarakat diciptakan demi kepentingan kamu”.
b)     Aristoteles (364-322 SM)
Memandang sosiologi dari 4 sisi yaitu:
1)      Philia atau kecenderungan bawaan kepada kebersamaan dan solidaritas
2)      Koinonia atau pembentukan kelompok-kelompok khusus seperti keluarga, desa, perkumpulan sukarela
3)      Koinonia politik atau yang berkaitan dengan mendirikan suatu negara dan pemerintahan
4)      Nomus yang menujukan keterikatan kepada peraturan sosial, adat istiadat, kaidah moral dan hukum
c)      Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677)
Menurut mereka kehidupan berasal dari dorongan-dorongan aktif manusia yang mengarah pada individualisme ekstrem. Namun demikian, adanya pengaruh akal budi mengimbanginya untuk membuat kesepakatan dan bentuk kehidupan bersama berdasarkan kewajiban-kewajiban yang diakui bersama.
d)     Montesquieu (1689-1755)
Mengajarkan kehidupan masyarakat dari sisi hukum-hukumnya, antara lain adalah hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
e)      Auguste Comte (1798-1857)
Istilah sosiologi pertama kali diperkenalkan olehnya. Dia sendiri yang memaka istilah fisika sosial dengan maksud untuk memberi penegasan, bahwa ilmu masyarakat setara dengan ilmu eksakta. Namun pada kenyataannya tulisan Comte masih bersfat spekulatif dan deduktif.
f)       Vilfredo Pareto (1848-1923)
Menyanggah tulisan dari Auguste Comte, tulisan Pareto lebih bersifat ilmiah positif, namun sebagian karyanya termasuk kajian “psikologi sosial”.
g)      Emile Durkheim (1857-1917)
Julukan “Bapak Sosiologi” diberikan kepada Durkheim karena penerapan sosiologi dilakukan oleh Durkheim. Sedangkan julukan “Godfather” diberikan kepada Comte karena ia adalah penggagas sosiologi sebagai ilmu positif.
h)     Ferdinand Tonies (1855-1936)
Menentang pandangan sosiologi empirik sebagai pengumpul data saja dari fakta sosial yang statis. Dalam pemikirannya, sosiografi merupakan hakikat dari sosiologi yang mencakuop observasi sistematis, studi kasus, dan metode-metode kualitatif lain yang seharusnya melengkapi data.
i)        George Simmel (1858-1918)
Tidak memandang fenomena sosial sebagai “fakta” yang dari luar manusia mengekang dan mempengaruhi, melainkan sebagai suatu interaksi individu. Menurutnya pemikiran yang ada dalam diri manusia merupakan penentu bagi kehidupan manusia.
j)       Max Weber (1864-1920)
Max Weber memiliki pemikiran yang sejalan dengan Simmel. Dia merupakan orang yang mencemaskan terjadinya perubahan relasi keakraban, tolong-menolong, dan keagamaan yang makin diganti dengan relasi fungsional, terlalu menekankan pertimbangan rasional, serta motivasi sekular.
Selain kesepuluh tokoh sosiologi di atas, masih banyak tokoh-tokoh sosiologi yang lain yang juga sangat berperan penting dalam pembentukkan struktur sosiologi di masyarakat. Mereka adalah Talcott Parsons dan muridnya Robert Merton yang amat berjasa dalam perkembangan teori sosiologi. Selanjutnya ada Herbert Blumer (interaksionisme simbolik), Harold Garfinkel (etnometodelogi), dan Peter Berger (sintesis strukturalisme dan interaksionisme). Di Indonesia mulai tersebar konsep-konsep sosiologi dari Ki Hajar Dewantara yang menjelaskan kepemimpinan dan kekeluargaan dalam masyarakat. Ada juga dosen Indonesia yang pertama kali mengajarkan mata kuliah sosiologi d Indonesia, ia adalah Soenario Kolopaking. Selain itu ada Djodi Gondokusumo yang menjadi penulis pertama buku sosiologi dalam bahasa Indonesia. Selo Soemardjan juga berhasil menulis buku sosiologi berbahasa Inggris di Cornell University yang berjudul “Social Changes in Yogyakarta”.

F.     SOSIOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN
Sosiogi merupakan suatu ilmu pengetahuan (science). Dalam pengertian, ilmu pengetahuan yang bersifat induktif (bertolak belakang dari data Inderawi). Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kehidupan dan tingkah laku terutama yang berkaitan dengan satu sistem sosial, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan dengan mencoba mengerti sifat dan maksud hidup. Sosiologi dapat membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku kita dalam kehidupan masyarakat.

G.    TIGA PARADIGMA SOSIOLOGI YANG MUTAKHIR
Kerangka pandangan dasar yang dipakai oleh ilmuwan untuk mempelajari obyeknya disebut paradigma. Jadi pengertian paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan. Berikut ini adalah paradigma-paradigma yang digunakan oleh para ilmuwan:
1)      Paradigma Fakta Sosial
Emile Durkheim menjelaskan bahwa hidup sosial manusia adalah fakta tersendiri yang tidak mungkin dimengerti berdasarkan ciri-ciri personal individu dalam masyarakat tersebut. Jadi masyarakat dalam strukturnya, yaitu bentuk pengorganisasiannya, hirarki kekuasaan dan wewenang, peranan-peranan, nilai-nilai, pranata sosial, merupakan suatu fakta yang terpisah dari individu, tetapi mempengaruhi individu tersebut.
2)      Paradigma Definisi Sosial
Max Weber, dalam konsep sosiologinya menjelaskan verstchen atau pemahaman yang mendalam yang diharapkan di hasilkan oleh sosiologi. Dalam merancang dan mendefinisikan arti aksi dan interaksi sosial, manusia di posisikan sebagai pelaku yang bebas dan bertanggung jawab, dengan kata lain aksi dan interaksi sosial terjadi karena adanya kemauan dari manusia itu sendiri. Jadi tindakan sosial seseorang tidak berpokok pangkal pada struktur-struktur sosial, tetapi berpijak pada definisi bersama yang dimiliki oleh tiap individu.
3)      Paradigma Perilaku Sosial
George Homas dalam teorinya menjelaskan bahwa manusia di gambarkan sebagai makhluk yang selalu bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri. Jadi yang menjadi pokok kajian sosiologi paradigma perilaku sosial adalah memahami kepentingan-kepentingan manusia.



H.    TEORI-TEORI SOSIOLOGI
Teori adalah seperangkat preposisi yang dinyatakan secara sistematis dan saling berhubungan secara logis serta di dasarkan secara teguh pada data empiris. Robert Merton membedakan antara grand theories dan theories of the middle range. Grand Theories adalah teori yang mencakup seluruh realitas sosial dalam kehidupan masyarakat, teori ini bersifat abstrak dan umum. Sedangkan theories of the middle range adalah teori yang tidak bertujuan untuk mencakup seluruh realitas sosial, tetepi menyoroti aspek terbatas atau gejala sosial tertentu. Berikut ini adalah teori-teorinya:
1.      Teori Berparadigma Fakta Sosial
a)      Teori Fungsionalisme-Struktural: adalah teori yang mempelajari tentang dampak atau fungsi struktur dan pranata sosial dalam kehidupan masyarakat yang teratur dan stabil. Prinsip yang di pakai dalam teori ini adalah adaptasi hidup bersama dengan situasi lingkungannya.
b)     Teori Konflik: teori yang menjelaskan tentang kehidupan sosial sebagai dampak dari struktur kekuasaan dan kepentingan kelompok. Prinsip dasar dari teori ini adalah kehidupan sosial didominasi oleh pihak yang kuat atas pihak yang lemah.
c)      Teori Sistem: adalah teori sosial yang menjelaskan bahwa semua struktur dan pranata sosial berhubungan satu dengan yang lain. Sehingga jika ada perubahan di salah satu bidang, maka akan ada perubahan juga di bidang yang lain.
d)     Teori Makro: adalah teori yang memandang bahwa seluruh kehidupan bermasyarakat disebabkan oleh proses perkembangan yang berjalan dengan sendirinya.
2.       Teori Berparadigma Definisi Sosial
a)      Teori Aksi: teori ini menjelaskan bahwa manusia lah yang berpikir dan mengungkapkan pikirannya ke dalam masyarakat. Prinsip utama dalam teori adalah untuk mmahami kehidupan bersama kuncinya ada di tangan manusia.
b)     Teori Interaksionisme Simbolik: adalah teori yang mempunyai prinsip bahwa manusia yang bertindak memberi dan menginterpretasikan arti tertentu pada tingkah lakunya dan orang lain.
c)      Teori Sosiologi Fenomenologi: teori ini lebih mementingkan “intersubyektifitas”. Teori ini memahami bahwa interaksi sosial terjadi penafsiran dan pemahaman tindakan masing-masing baik antar individu maupun antar kelompok.
3.      Teori Berparadigma Perilaku Sosial
Teori yang mengacu pada paradigma perilaku sosial antara lain Teori Pertukaran milik George Homas.
Teori Pertukaran (Exchange Theory) dirumuskan dalam 5 proposisi yang saling berhubungan, yakni:
a.       Semakin sering tindakan seseorang memperoleh imbalan, maka orang itu akan kerap kali melakukan tindakan yang sama.
b.      Jika ada stimuli terhadap sesuatu tindakan yang menyebabkan seseorang mendapat imbalan, maka stimuli yang mirip akan membuat orang untuk melakukan tindakan serupa.
c.       Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka orang akan kian menyenangi tindakannya tersebut.
d.      Semakin seseorang menerima imbalan, maka nila dari setiap unit imbalan tersebut akan dirasakan menjadi kurang bernilai.
e.       Bila tindakan seseorang tidak memperoleh imbalan, maka dia akan kecewa dan menunjukkan kecenderungan agresif.

I.       BIDANG-BIDANG SOSIOLOGI
Dalam penerapannya sosiologi terbagi dalam berbagai bidang, diantaranya adalah: sosiologi umum, sosiologi agama, sosiologi hukum, sosiologi etika, kriminologi, sosiologi ekonomi, morfoloi sosial, dan sosiologi kesenian. Saat ini di Amerika studi sosiologi di Amerika mencakup sedikitnya 40 bidang yang dicakup beberapa kelompok penting yaitu: teori sosiologi dan metodelogi, orde sosial termasuk institusi dan struktur sosial komparatif, serta kelompok sosial seperti keluarga, partai politik dan lain-lain.



HAKIKAT DAN KONSEP SOSIOLOGI POLITIK

A.    PENGERTIAN SOSIOLOGI POLITIK
Sosiologi Politik berasal dari dua kata, yang secara terpisah mempunyai arti sendiri-sendiri sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu sosiologi dan politik. Istilah “sosiologi” pertama kali dimunculkan oleh Auguste Comte, salah seorang pendiri disiplin ilmu ini, pada tahun 1839 di dalam bukunya Cours de Philosphie Positive, jilid IV (Duverger, 1989, hal 1). Secara sederhana “sosiologi” berarti studi tentang masyarakat dipandang dari suatu segi tertentu. Comte dan Spencer (1820-1903) yang juga seorang pendiri lannya (Rush dan Althoff, 1990: 1), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisi sosiologis. Sementara, berbagai lembaga lainnya, seperti: keluarga, dan lembaga-lembaga politik, ekonomi dan keagamaan dan interelasi antara lembaga-lembaga tersebut merupakan substrip unit dari analisk.
Miriam Budiarjo mengemukakan bahwa konsep-konsep pokok mengenai politik adalah negara (state), kekuasaan (power), pengambila keputusan (decision making), kebijaksaan (policys beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Jadi, menurut Miriam Budiarjo politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sitem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan. Duverger (1989), dalam perikirannya menggangap sosioogi politik menjadi 2 arti, yaitu: “ilmu tentang negara” dan “ilmu tentang kekuasaan”.



B.     KONSEP SOSIOLOGI POLITIK SEBAGAI ILMU NEGARA DAN SEBAGAI ILMU KEKUASAAN
Konsep ini mempergunakan kata politik dalam konotasi yang biasa, yaitu yang berhubungan dengan negara. Kata negara disini dimaksudkan untuk mengartikan kategori khusus dari kelompok-kelompok manusia atau masyarakat.
Pendefinisian sosiologi politi sebgai ilmu negara berarti menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada hakikat dari masyarakat-masyarakat yang di pelajari.
Sementara definisi dari sosiologi politik sebagai ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat, manusia bukan saja di dalam masyarakat nasional. Konsep ini dikemukakan oleh Leon Duguits, ahli hukum Perancis, yang dinamakan perbedaan antara yang memerintah (goverments) dan yang di perintah (gouvemes). Dia mengemukakan bahwa dalam setiap kelompok manusia dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang sifatnya sementara sampai yang stabil, ada orang yang memerintah dan mereka yang di perintah, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang menaatinya, mereka yang membuat keputusan dan mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Pembedaan ini merupakan fakta politik yang fundamental yang berada pada setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.

C.    SKEMA KONSEPTUAL
Skema konsepsi ini di landaskan pada 4 konsep, yaitu: sosialisasi politik, partisipasi politik, perekrutan politik, dan komunikasi politik. Keseluruhan konsep ini saling bergantung dan berkaitan satu sama lain.
Berikut adalah definisi dari ke empat konsep tersebut:
1)      Sosialisasi politik adalah proses, yang menentukan pengaruh apa yang membuat seseorang bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik ini merupakan mata rantai paling penting di antara sistem-sitem sosial dengan sistem-sistem politik.
2)      Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Partisipasi politik antar masyarakat sangat berbeda dengan masyarakat yang lainnya, karena hal ini menyangkut tentang aktivitas politik sampai aktivitas jabatannya.
3)      Perekrutan politik adalah proses dimana tiap individu menjamin atau mendaftarkan dirinya untuk menduduki sebuah jabatan. Perekrutan ini bisa bersifat formal dan informal. Setiap individu mampu mendapat kesempatan atau bisa juga ia didekati oleh orang lain untuk kemudian bisa menjabat posisi-posisi tertentu.
4)      Komunikasi politik adalah proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari suatu bagian sistem politik kepada sistem politik di bagian lainnya. Kejadian tersebut merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkat masyarakat.


PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK

Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator, dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
Pada dasarnya, sosialisasi politik adalah proses dimana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya.

Pengertian Sosialisasi Politik Menurut Para Ahli
a.      David F. Arbele, dalam “Culture and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang  terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
b.      Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukan pada proses diamana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasu untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
c.       Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, di tuntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi  kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
d.      Richard E. Dawson dkk,
Sosialisasi politik dapat di pandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
e.       S.N. Eisentadt, dalam from generation to ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.
f.       Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
g.      Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan engan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
Pertama: sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua: sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nali-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak politik langsung.


MANUSIA INDONESIA DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA

Gambaran umum masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dan pluralistis. Kemajemukan masyarakat bisa dilihat dari segi horizontal seperti perbedaan etnis, bahasa daerah, agama dan geografis maupun dari segi vertikal seperti perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi dan tingkat sosial budaya (Usman Pelly & Asih Menanti,1994). Manusia Indonsia yang diinginkan adalah manusia seutuhnya yaitu manusia yang dididik untuk mencapai keselarasan dan keseimbangan baik dalam hidup manusia pribadi, makhluk sosial, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhannya dalam mengejar kemajuan dan kebahagiaan rohaniah (ibid: 14).
Sumber Daya Manusia adalah kunci sehingga perlu dipersiapkan secara terstruktur dan terencana. Banyak dari kalangan dan budayawan Indonesia yang mengenali sisi-sisi negatif manusia Indonesia, diantaranya uraian “manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis dan “mental menerabas”-nya Koentjaraningrat.
Mochtar Lubis secara lisan pada tahun 1977, menyebut enam ciri manusia Indonesia. (1) meliputi hipokrit alias munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik, dan (6) berwatak lemah.
Koentjaraningrat (2004) menyatakan bahwa manusia Indonesia mengidap mentalitas yang lemah, yaitu konsepsi atau pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan yang sudah lama mengendap dalam alam pikiran masyarakat, karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya (culture value system) sejak beberapa generasi yang lalu, dan yang baru timbul sejak zaman revolusi yang tidak bersumber dari sistem nilai budaya pribumi. Ia juga memperinci kelemahan mentalitas manusia Indonesia, diantaranya: (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Dalam hal ini Mansyur Semma (2008) juga menambahkan dan mengutip pendapat Samuel P. Huntington tentang kondisi masyarakat mempersubur korupsi. Korupsi cenderung meningkat dalam periode pertumbuhan dan demokratisasi yang cepat karena perubahan nilai dan sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan.
Kemudian Ryan Sugiarto (2009: 11-13) memperinci watak negatif manusia Indonesia dengan mengemukakan 55 kebiasaan kecil yang menghancurkan bangsa. Walaupun demikian kita yakin bahwa masih banyak diantara manusia Indonesia yang memiliki kebiasaan positif atau memiliki karakter yang baik.
Namun demikian keadaan manusia Indonesia bisa diubah dan harus berubah seiring berjalannya waktu. Dimulai dengan melakukan perubahan sistem nilai budaya (culture value system). Misalnya, membuat perbandingan pengalaman negara lain sebagai bahan belajar dan perbaikan internal secara radikal.

PENDEKATAN SOSIOLOGI DAN SISTEM NILAI BUDAYA
Dalam sosiologi dibutuhkan dua pendekatan yang mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh manusia Indonesia. Dua pendekatan itu adalah pendekatan sosiologi khususnya teori sibernatik Talcott Parson dan sistem nilai budaya (Culture Value System) khususnya kerangka mengenai lima dasar nilai budaya manusia Kluckhohn.
Pertama, Pendekatan Sosiologi. Pada dasarnya sosiologi melihat manusia dalam serba keterhubungannya dengan manusia atau orang lain. Manusia adalah manusia dalam masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1986). Dengan melihat dari keterhubungan manusia-masyarakat tersebut, kita dapat melihat aspek-aspek mana yang muncul manakala kita membicarakan manusia itu, yaitu: sistem kepribadian yang menyangkut diri manusia tu sendiri, sistem sosial, dan sistem kebudayaan, seperti yang telah dijelaskan oleh Talcott Parson.
Tindakan manusia tidak pernah bisa terlepas dari jaringan struktur yang merangkumnya. Oleh karena itu, dari sudut pemahaman sosiologi sulit untuk melihat tindakan manusia itu sebagai suatu perbuatan yang spontan, melainkan sebagai hasil perhitungannya dengan struktur yang merangkumnya, baik berupa perbuatan yang sesuai dengan struktur maupun yang menentangnya (Satjipto Rahardjo, 1986).
Konsep manusia dan masyarakat ada dua aliran yang membahasnya. Pertama, yang diwakili oleh Rousseau, dimana bangunan pemikiran Rousseau terhadap manusia didirikan pada tatanan dimana manusia sebagai individu dalam menunjang kemajuan suatu masyarakat. Rousseau berpendirian bahwa man’s impules, passions dan reasons yang menentukan masyarakatnya (Loekman Soetrisno, 1986: 56). Aliran yang kedua diwakili oleh Louis De Bonald dan Auguste Comte, dimana Bonald berpendapat bahwa bukan individu-individu yang menunjang kemajuan masyarakat tetapi justru sebaliknya, masyarakatlah yang menentukan individu-individu yang tinggal dalam masyarakat itu. Bonald berpendapat bahwa hanya dalam masyarakat kita akan mendapati ideas and symbols, dan masyarakatlah yang mengkomunikasikan keduanya kepada individu manusia.
Auguste Comte berpendapat bahwa krisis yang dihadapi oleh masyarakat Eropa pada waktu abad pencerahan disebabkan karena individualisme yang melanda masyarakat Eropa melalui gerakan reformasi. Comte melihat bahwa manusia adalah nonrational. Oleh karena itu, menurutnya, individual liberty justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu dalam masyarakat, manusia tak seorangpun dapat berpendapat lain daripada apa yang telah diputuskan oleh golongan tertinggi masyarakat yaitu the intellectual-scientific-religious group (Bottomore dan Robert Nisbet dalam Soetrisno, 1986). Comte juga berpendapat bahwa Modernisasi berbahaya bagi budaya dan tertib sosial, karena spirit modernisasi menciptakan manusia yang individualistik.
Semenjak revolusi industri membebaskan manusia dari kedudukannya yang pasif dan ketergantungannya pada alam, maka secara perlahan manusia masuk ke dalam situasi keterikatan yang lain, bahkan sangat mengekang sifatnya. Alam mengikat manusia dengan cara memangku dan menghidupinya, sedangkan teknologi mencengkram manusia dengan memberikan kemudahan-kemudahan, kenikmatan-kenikmatan tertentu dan secara bersamaan menekan dan merusaknya, hingga manusia tidak mampu lagi menghindarkan diri dari ketergantungan terhadap teknologi modern.
Rahardjo juga menjelaskan bahwa masyarakat dan pemerintah sudah tidak lagi dilakukan oleh manusia, melainkan oleh mesin. Manusia menjadi bionik, masyarakat menjadi sosionik dan pemerintah menjadi administronik. Ruh kemanusiaan telah hilang dari sisi-sisi kehidupan manusia, yang ada adalah manusia hidup seperti robot yang diatur oleh teknologi. Pergulatan besar yang sedang berlangsung sekarang ini pada hakekatnya adalah bagaimana mengembalikan semuanya kembali ke tangan manusia. Dengan perkataan lain, bagaimana mesin-mesin itu kembali menjadi hamba dan bukan menjadi tuan manusia.
Talcott Parson (dalam Ritzer & Goodman, 2004) mengatakan bahwa ada 4 subsistem yang menjalankan fungsi utama dalam kehidupan masyarakat yang dikenal dengan sistem “tindakan” yaitu dengan skema AGIL:
1.      Fungsi Adaptasi (Adaptation) dilaksanakan oleh subsistem ekonomi, contoh: melaksanakan produksi & distribusi barang-jasa, dimana jalur produksi dan distribusi barang dan jasa untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan seadil-adilnya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
2.      Fungsi Pencapaian Tujuan (Goal Attainment) dilaksanakan oleh subsistem Politik, contoh: melaksanakan distribusi-distribusi kekuasaan & memonopoli unsur paksaan yang sah (negara). Dalam pembagian kekuasaan ini harus didasarkan kepada erika dan moral politik (moral excellent) untuk menghindari kekuasaan absolut dan tindakan korupsi yang dilakukan kaum elite.
3.      Fungsi Integrasi (Integration) dilaksanakan oleh subsistem hukum dengan cara mempertahankan keterpaduan antara komponen yang beda pendapat/konflik untuk mendorong terbentuknya solidaritas sosial.
4.      Fungsi Mempertahankan Pola & Struktur Masyarakat (Lattent Pattern Maintenance) dilaksanakan oleh subsistem budaya menangani urusan pemeliharaan nilai-nilai & norma-norma budaya yang berlaku dengan tujuan kelestarian struktur masyarakat dibagi menjadi subsistem keluarga, agama, dan pendidikan.
Kedua, Pendekatan Sistem Nilai Budaya (Culture Value System). Pendekatan ini untuk memperbaiki mentalitas manusia Indonesia yang lemah karena faktor nilai budaya negatif dan inferior complex yang diwariskan penjajah kepada bangsa Indonesia. Koentjaraningrat (2004) menyatakan, sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Untuk menganalisis sistem nilai budaya Koentjaraningrat menggunakan kerangka Kluckhohn, yaitu lima dasar nilai budaya manusia:
1.      Hakekat hidup manusia. Ada kebudayaan yang menganggap hakekat hidup manusia adalah buruk dan menyedihkan, namun manusia dapat berusaha untuk mengubah dirinya dari kondisi buruk ke arah kondisi yang lebih baik dan bahagia.
2.      Karya manusia dalam kebudayaan pada hakekatnya bertujuan untuk menjaga eksistensi kehidupannya, memberikan status dan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, dan sebagai usaha untuk menghasilkan produk yang lebih banyak lagi.
3.      Kedudukan manusia dengan ruang waktu berinteraksi dengan kehidupan masa lalu sebagai cermin untuk memandang kehidupan ke masa depan. Sehingga manusia mampu untuk menghargai dan menggunakan ruang waktunya untuk kemajuan hidupnya.
4.      Hubungan manusia dengan alam sekitarnya, agar terjalin secara harmonis, maka manusia harus mampu menyikapi alam dengan bijaksana. Melakukan eksploitasi alam tanpa melupakan upaya-upaya pemeliharaan dan pelestariannya. Agar alam tidak “marah” dan dapat berlanjut kepada anak cucu kelak di kemudian hari.
5.      Hubungan manusia dengan sesamanya dapat tetap terpelihara, apabila mereka mampu bekerja sama dan saling pengertian. Dengan cara seperti itulah kehidupan masyarakat dapat terpelihara tertib sosialnya yang diikat dengan sistem sosial dan sistem budaya.
Selain itu, untuk menjawab persoalan kualitas manusia Indonesia, Mochtar Lubis juga menyarankan agar melakukan suatu penelitian yang komprehensif dan tidak berhenti pada 5 (lima) karakter negatif yang sudah dipaparkan di atas. Dimana masih banyak budaya kebaikan yang dimiliki bangsa Indonesia telah menjadi karakter positif dan berjalan di tengah-tengah masyarakat, misalnya budaya gotong royong, kasih sayang orang tua kepada anaknya, dan sebaliknya, hati yang damai/lembut, bersabar, dan cepat belajar.
Walaupun untuk kehidupan masyarakat di perkotaan sepertinya budaya positif tersebut mulai luntur dan tidak sedikit yang meninggalkannya. Hal ini menjad tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menumbuhkan kembali budaya positif tersebut. Dan lembaga pendidikan baik di rumah, sekolah, maupun d masyarakat menjadi sarana yang paling ideal untuk melaksankannya.
Sedangkan nilai-nilai negatif yang berasal dari bangsa asing baik yang dibawa pada masa penjajahan maupun karena adanya dampak globalisas, maka pemerintah harus mebuat peraturan yang membatasi efek globalisasi tersebut walaupun tidak bisa sama sekali menghindarinya dan mengganti budaya-budaya penjajah dengan budaya genuine Indonesia yang positif, serta disusunnya kurikulum berbasis budaya lokal untuk pendirian.
Namun, dengan kondisi masyarakat sekarang ini, usaha perbaikan ke arah yang positif pasti akan menemui berbagai macam hambatan. Misalnya, jumlah penduduk yang sekarang mencapai lebih dari 200 juta menjadi kendala tersendiri, jika jumlah penduduk dipastikan kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan juga akan semakin meningkat. Hal ini jika tidak diantisipasi akan menimbulkan kerawanan pangan, persaingan memperoleh pekerjaan semakin meningkat, lahan pertanian banyak berubah menjadi tempat hunian, keberadaan hutan semakin menyempit, dan berdampak kepada semakin meningkatnya problem penumpukan sampah, banjir, bencana alam, kemiskinan, dan sebagainya.
Belum lagi masalah karakter negatif bangsa yang sangat sulit dirubah kalu hanya mengandalkan kesadaran warga negara. Kasus korupsi yang tidak pernah habis-habisnya, peredaran dan penggunaan narkoba, pornografi dan pornoaksi, tawuran, kriminalitas dan sebagainya telah membawa masyarakat ke jurang dekadensi moral yang lebih parah lagi. Jika ini benar-benar terjadi, maka kualitas atau mentalitas manusia Indonesia akan semakin memburuk, dan pada akhirnya bangsa ini akan semakin berat menanggung beban segala permasalahannya. Dengan begitu apakah  Indonesia akan menuju kebangkitan? Atau yang terparah akan mengalami kehancurannya?


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Tindakan dan perilaku seorang individu sulit ditebak dan diprediksi. Oleh karena itu, kemudian sosiologi pun muncul sebagai ilmu yang mempelajari manusia dengan tindakan dan perilakunya tersebut. Sosiologi adalah imu pengetahuan yang lahir belakangan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan alam. Namun sosiologi lebih banyak mempelajari tentang manusia dengan segala tindakan dan perilaku kehidupannya sehari-hari. Batasan sederhana dari sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Sosiologi modern pun sekarang tidak hanya membicarakan tentang dasar dari perilaku seorang individu, tapi juga membicarakan sosialisasi individu dari berbagai bidang, yang diantaranya adalah sosialisasi politik dan sosialisasi kebudayaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar